Sabtu, 28 April 2012

psikoterapi

TERAPI RASIONAL-EMOTIF ALBERT ELLIS Diperkelankan pada tahun 1955 oleh Albert Ellis yang lahir pada tanggal 27 September 1913 di Pitssburgh, Pennsylvania, yang kemudian dibesarkan di New York. Ellis adalah alumnus dari City University of New York dalam bidang Business Administration dan setelah itu baru mengikuti pendidikan psikologi klinis pada tahun 1942, di Columbia University dan memperoleh gelar doctornya pada tahun 1947. Sebelumnya ia menjadi pengarang dengan status bebas, dan banyak menulis buku maupun artikel, terutama mengenai seksualitas, disamping pernah pula sebagai manajer personalia. Segera setelah menyelesaikan pendidikan doktornya, ia bekerja sebagai psikolog-klinis di New Jersey State Diagnostic Center, Menlo Park. Setahun kemudian ia menggabungkan diri dengan New Jersey Deparment of Instituions and Agencies di Treton. Bersamaan dengan jabatan – jabatannya, Ellis mempunyai praktik pribadi yang dilakukan sejak tahun 1943, mengkhususkan diri pada psikoterap dan konseling perkawinan. Ellis sendiri mengatakan bahwa dialah yang memelopori seks terapi. Ia juga seorang psikoanalis, yang merasakan bahwa pendekatan psikonalisis tidak efesien. Pada tahun 1959, ia ditunjuk sebagai Direktr Eksekutif pada Institute for Advanced Study in Rational Psycho-therapy di New York City. Jabatan penting yang pernah dipegangnya di American Psychological Association adalah ketika pada tahun 1961-1962 bertindak sebagai Ketua dari Division of Consulting Psychology. Sebagai seorang ilmuawan dan pengarang ia sangat produktif dalam menulis buku dan artikel. Sampai sekarang sudah lebih dari 50 buku dan 600 artikel ditulisnya dan salah satu bukunya yang terkenal yang berhubungan dengan teknik pendektannya, ialah Reason and Emotion in Psycho-therapy [1962]. Beberapa karya tulisnya dalam bentuk buku, antara lain ialah : - An Introduction to the Principles of Scientific Psycho analysis – 1950 - The Folklore of Sex 1951 - Sex, Society and the Individual – 1953 - The American Sexual Tragedy – 1954 - New Approaches to Psychotherapy Techniques 1955 - How to Live with Neurotic – 1957 - Guide to Rational Living 1961 - Reason and Emotion in Psychoterapy – 1962 - Growth Through Reason 1971 - Humanistic Psychotherapy: The Rational Emotive Therapy 1977 - Theoritical and Emphirical Faundatons of Rational Emotive Therapy ( bersama dengan J.M.Witheley ) – 1979 - Why some Therapies Don’t Work ( dengan R.J.Yeager ) – 1989 Therapy Rational – Emotive menurut Ellis berdasarkan pada konsep bahwa berpikir dan berperasaan saling berkaitan, namun dalam pendekatannya melebih menitik beratkan pada pikiran daripada ekspresi emosi seseorang. Pandangan Ellis (1980) terhadap konsep manusia adalah : 1. Manusia mengkondisioning diri sendiri terhadap munculnya perasaan yang menggangu pribadinya. 2. Kecenderungan biologisme sama halnya dengan kecenderungan Kultural untuk berfikir salah dan tidak gunanya, berakibat mengecewakan diri sendiri. 3. Kemanusiaannya yang unik untuk menemukan dan mencipta keyakinan yang salah, yang menggganggu, sama halnya dengan kecenderungan mengecewakan dirinya sendiri karena gangguan – gangguannya. 4. Kemampuannya yang luar biasa untuk mengubah proses – proses kognitif, emosi dan perilaku, memungkinkan dapat : a. Memilih reaksi yang berbeda dengan yang biasa dilakukannya. b. Menolak mengecewakan diri sendiri terhadap hampir semua hal yang mungkin terjadi. c. Melatih diri sendiri agar secara setengah otomatis mempertahankan gangguan sesedikit mungkin sepanjang hidupnya. Pandangan terhadap konsep manusia dari sudut pendekatan teraphy rational – emotive dan perkemangan kearah timbulnya perasaan tidak bahagia karena gangguan emosi yang dialami, dikemuakan oleh Patterson (1980) sebagai berikut : 1. Manusia adalah pribadi unik, rasional dan tidak rasional. Bilamana manusia berfikir dan bertindak rasinal iay akan mampu bertindak efektif dan merasa bahagia. 2. Hambatan emosi atau hambatan psikologis, adalah akibat dari cara berfikir yang tidak rasional tidak logis. Emosi menyertai pikiran dan mini mengakibatnkan kurangnya rasional. 3. Pikiran yang tidak rasional berakar pada hal – hal yang tidak logis yang dipelajari sejak awal, sesuatu yang terjadi secara biologis diperoleh dari orang tua dan dari lingkungan budayanya. Dalam perkembangannya , seorang anak yang mengetahui atau mempelajari sesuatu yang baik, akan mengembangkan kehidupan emosinya yang postif ( misalnya, cinta kegembiraan). Sebaliknya jika diberitahukan atau diketahui bahwa sesuatu tidak baik atau tidak boleh dilakukan, maka terbentuk perkembangan emosi yang negative ( misalnya sakit marah atau depresi ). 4. Manusia berfikir dengan mempergunakan symbol dan bahasa. Karena pikiran menyertai emosi, jika emosinya terganggu, maka akan muncul pikiran tidak rasional. Pribadi yang menghambat akan terus mempertahankan keadaannya yang terhambat dan pikirannya yang tidak logis, dengan melakukan verbalisasi internal tentang pikiran dan tidak rasional. 5. Berlanjutnya hambatan emosi adalah akibat dari verbalisasi diri, yang dilakukan terhadap diri sendiri, jadi bukan sesuatu yang terjadi oleh pengaruh dari luar, melainkan dari pengamatan dan sikapnya terhadap sesuatu kejadianya. Ellis menekankan bahwa bukan situasi yang menyebabkan terjadinya encietas pada seseorang, melainkan pengamatan yang dilakukan prbadi terhadap sesuatu keadaan yang menimbulkan perasaan tidak enak. 6. Manusia memiliki sumber yang luas dan bebas untuk mengaktualisasikan kemampuan – kemampuannya dan dapat mengubah tujuan prbadi maupun sosialnya. Ellis melihat manusia sebagai pribadi yang unik, memiliki kekuatan untuk memahami keterbatasannya untuk mengubah pandangan dasar dan system nilanya dan untuk melawan kecenderungan – kecenderungan untuk menolak diri sendiri, manusia memiliki kemampuan untuk menghadapi system nilainya dan melatih diri sendiri dengan keyakinan dan system nilai yang lain. Sebagai akibatnya, ia akan bertindak sangat berbeda dengan tindakannya yang dulu. 7. Pikiran negative menyalahkan pikiran dan emosi diri sendiri, karena itu harus dilawan dengan menyusun kembali pengamatan dan pikirannya , sehingga menjadi logis dan rasional. Pendekatan terapi rasional – emotive menganggap bahwa manusia pada hakikatnya korban dari pola berfikirnya sendiri yang tidak rasional dan tidak benar. Karena itu Ellis berkomentar bahwa pendekatan humanistik terlalu lunak dan mengakibatkan persoalan pada diri sendiri karena berpikir tidak rasional. Karena itu terapis dengan pendekatan ini berusaha memperbaiki melalui pola berfikirnya dan menghilangkan pola berfikir yang tidak rasional terapi dilihatnya sebagai usaha untuk mendidik kembali ( reeducation), jadi terapis bertidak sebagai pendidik , dengan antara lain memberikan tugas yang haruis dilakukan pasien serta mengajarkan setrategi tertentu untuk memperkuat proses berfikirnya. Proses ini dilakukan dengan pendekatan langsung (direktif) dan atau pendekatan eklektik. Manusia sebagai makhluk berfikir dapat menghilangkan atau mengurangi gangguan emosi atau sesuatu yang menimbulkan perasaan tidak bahagia, dengan belajar berfikir rasional. Terapi bertujuan menghilangkan cara berfkir yang tidak logis, dan tidak rasional dan menggantinya menjadi sesuatu yang logis dan rasional. Terapis perlu memahami dunia pasien , perilaku pasien dari sudut pasien itu sendiri, memahami perilaku pasien yang tidak rasional, tanpa terlibat dengan perilaku tersebut sehingga memungkinkan terapis dapat mendorong pasien agar pasien menghentikan cara berfikir yang tidak rasional. Untuk melakukan hal ini ada tiga langkah : pertama, terapis menunjukan bahwa cara berfikir pasien tidak logis kemudian membantunya memahami bagaimana dan mengapai pasien sampai pada cara berfikir seperti itu, menunjukkan pula hubungan antara fikiran tidak logis dengan perasaan tidak bahagia atau gangguan emosi yang dialaminya. Pasien harus belajar membedakan antara keyakinan yang rasional dengan yang tidak rasional . Dalam hal ini terapis menantangnya apakah pasien akan meneruskan keyakinannya untuk merusak dirinya apakah tidak. Terapis mendorongnya bahkan lebih kuat lagi yakni mengintruksikan pasien agara melibatkan diri dalam kegiatan kegiatan, karena dengan melakukan kegiatan kegiatan tersebut , diharapkan dapat berfungsi untuk menghadapi perilaku yang menimbulkan masalah. Langkah kedua menunjukkan kepada pasien, bahwa pasien mempertahankan perilakunya yang terganggu karena pasien meneruskan cara berfikirnya yang tidak logis. Cara berfikir tidak logis inilah yang menyebabkan adanya gangguan sebgaimana yang dirsakan bukan dari kejadian atau pengalaman yang lain. Langkah ketiga bertujuan mengubah cara berfikir pasien dengan membuang cara berfikir yang tidak bagus terapis menggunakan teknik langsung dan tidak mendorong untuk membantu client membuang pikiran – pikiran tidak bagus, tidak rasional dan menggantinya dengan pikiran yang logis, yang rasional. Dalam hal ini, dibutuhkan peran aktif dari terapis. Langkah berikutnya ditujukan terhadap aspek yang lebih jauh lagi, tidak hanya menghadapi proses berpikir yang tidak logis terhadap hal-hal yang tidak khusus, melainkan terhadap hal-hal yang lebih luas yang menyangkut kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, kehidupan pasien didasari oleh keyakinan dan cara berpikir yang logis, yang rasional. Karena sasaran utama adalah pada aspek kognitifnya, maka hubungan antara terapis denagn pasien terjalin terlalu erat dan mendalam. Mengenai peran dan kegiatan terapis menurut Ellis (1973) adalah: 1. Bawalah pasien sampai pada akar persoalannya yang menimbulkan pikiran tidak rasional dan yang menimbulkan gangguan pada perilaku. 2. Doronglah pasien agar mengemukakan pikiran-pikirannya. 3. Tunjukan pada pasien dasar dari cara berpikirnya tidak logis. 4. Pergunakan analisis-logis untuk mengurangi keyakinan-keyakinan yang tidak rasional. 5. Kemukakan kepada pasien bagaimana keyakinan-keyakinan ini tidak jaln dan bagaimana hal tersebut akan menimbulkan gangguan emosi maupun perilaku di kemudian hari. 6. Pergunakan humor atau cara lain yang mungkin dirasakan aneh-aneh atau yang bukan-bukan seperlunya, untuk menghadapi cara berpikir pasien yang tidak rasional. 7. Jelaskan bagaimana pikiran-pikiran ini dapat diganti dengan pikiran lain yang lebih rasional dan yang memiliki dasar empirik yang kuat. 8. Ajarlah pasien bagaimana mempergunakan pendekatan ilmiah dalam proses berpikirnya, sehingga mereka dapay mengamati dan kemudian mengurangi cara berpikir yang tidak rasional dan tidak logis yang dapat menimbulkan kesulitan dalam dirinya di kemudian hari. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa terapi rasional-emotif ini mempergunakan pendekatan langsung untuk “menyerang” dan menghilangkan pikiran yang rasional dan logis. Agar dapat melakukan ini, terapis perlu mengetahui dunia pasien, mengetahui sikap dan perilakunya yang tidak rasional dan bagaimana pasien melihat hal-hal tersebut. Terapis mempergunakan pedekata aktif, direktif meskipun dipihak lain juga fleksibel dan di sana-sini dapat memperguanakan elektik. Teknik sugesti, persuasi, kronfontasi dan bahkan untuk mempengaruhi fungsi konitifnya seperti: tugas yang harus dilakukan (assignment homework), perubahan dalam mempergunakan kata atau bahasa. Dalam hal mempengaruhi fungsi (atau lebih jelasnya visualisasi, menggambarkan apa yang baik yang akan dilakukan), bermain peran (role-play) dan latihan menghadapi hal-hal yang memalukan (shame-attacking experience), sehingga pasien menyadari bahwa perasaan malu tersebut adalah ciptaannya sendiri. Berbeda dengan dekatan behaviorostik, pada pendekatan ini, memahami pasien dengan semua latra belakang, sumber dan perkembangannya, yang diperolah melalui berbagai prosedur Biasa dalam pemeriksaan psikologis, termasuk wawancara pendahuluan, yang tidak terlalu mendalam, masih di anggap perlu. Antara lain untuk mengetahui seberapa jauh pasien terganggu dengan keadaannya dan bagaiman gambaran kepribadian pasien dengan fungsi kognitif yang dimilki, agar bisa menentukan tingkatan, jenis dan teknik pendekatan yang akan di pergunakan. Pendekatan dengan teerapi rasional-emotif menurut Ellis (1997, 1978), dapat dipergunakan untuk menghadapi masalah-masalah klinis seperti: depresi, ansietas, gangguan kakteriologis, sikap melawan, masalah seks, percintaan, perkawinan. Pengasuhan, masalah perilaku pada anak dan remaja. Ternyata tidak hanya dalam bidang klinis saja pendekatan ini dapat dipakai, melainkan juga dalam lapangan lain, seperti dunia bisnis, hukum, olahraga dan organisasi. Pendekatan denag terapi rasional-emotif yang semula sebagai tekhnik terapi individual, ternyata dalam perkembangannya lebih lanjut, dapat diamalkan untuk terapi kelompok, terapi jangka pendek, bahkan terapi keluarga (family therapy). Dalam perkembangannya akhir-akhir ini, pendekatan ini sangat populer karena efektivitasdan keberhasilannya cukup tinggi, sebagaimana dilaporkan oleh para peneliti seperti Maultsb, Knipping & Carpenter (1974), Knaus & Boker (1975) dan Carmody (1977). 1. TERAPI RASIONAL-EMOTIF ALBERT ELLIS. KONSEP-KONSEP UTAMA • Pandangan Tentang Sifat Manusia. TRE adalah aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dan jujur maupun untuk berpikir irasional dan jahat. Manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir, dan mengatakan, mencintai, bergabung dengan orang lain, serta tumbuh dan mengaktualkan diri. Akan tetapi, manusia juga memiliki kecenderungan-kecenderungan kea rah menghancurkan diri, menghindari pemikiran, berlambat-lambat, menyesali kesalahan-kesalahan secara tak berkesudahan, takhyul, intoleransi, perfeksionisme dan mencela diri. Manusia pun berkecenderungan untuk terpaku pada pola-pola tigkah laku lama yang disfungsional dan mencari berbagai cara untuk terlibat dalam sabotase diri. Manusia tidak ditakdirkan untuk menjadi korban pengondisian awal. TRE menegaskan bahwa manusia memiliki sumber-sumber yang tak terhingga bagi aktualisasi potensi-potensi dirinya dan bisa mengubah ketentuan-ketentuan pribadi dan masyarakatnya. Bagaimanapun, menurut TRE, manusia dilahirkan dengan kecenderungan untuk mendesakkan pemenuhan keinginan-keinginan, tuntutan-tuntutan, hasrat-hasrat, dan kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya. Jika tidak segera mencapai apa yang diinginkannya, manusia mempersalahkan dirinya sendiri ataupun orang lain (Ellis, 1973a, hlm. 175-176). TRE menekankan bahwa manusia berpikir, beremosi, dan bertindak secara simultan. Jarang manusia beremosi tanpa berpikir, sebab perasaan-perasaan biasanya dicetuskan oleh persepsi atas suatu situasi yang spesifik. Sebagaimana dinyatakan oleh Ellis (1974, hlm. 313), “ ketika mereka beremosi mereka juga berpikir dan bertindak. Ketika mereka berpikir, mereka juga beremosi dan bertindak”. Dalam rangka memahami tingkah laku menolak diri, orang harus memahami bagaimana seseorang beremosi , berpikir, mempersepsi, dan bertindak. Untuk memperbaiki pola-pola nyang disfungsional, seseorang idealnya harus menggunakan metode-metode perceptual-kognitif,emotif-evokatif, dan behavioristik reedukatif (Ellia, 1973a, hlm. 171). Tentang sifat manusia , Ellis (1967, hlm. 79-80) menyatakan bahwa baik pendekatan psikoanalitik Freudian maupun pendekatan eksistensial telah keliru dan bahwa metodologi-metodologi yang dibangun di atas kedua sistem psikoterapi tersebut tidak efektif dan tidak memadai. Ellis menandaskan bahwa pandangan Freudian tentang manusia itu keliru karena pandangan eksistensial humanistic tentang manusia,sebagian benar. Menurut Ellis, manusia bukanlah makhluk yang sepenuhn ya ditentukan secara biologis dan didorong oleh naluri-naluri. Ia melihat individu sebagai makhluk unik dan memiliki kekuatan untuk memahami keterbatasan-keterbatasan, untuk mengubah pandangan-pandangan dan nilai-nilai dasar yang telah diintroyeksikannya secara tidak kritis pada masa kanak-kanak, dan untuk mengatasi kecenderungan-kecenderungan menolak diri sendiri. Orang-orang memiliki kesanggupan untuk mengonfrotasikan sistem-sistem nilainya sendiri dan mereindoktrinasi diri dengan keyakinan-keyakinan, gagasan-gagasan, dan nilai-nilai yang berbeda. Sebagai akibatnya, mereka akan bertingkah laku berbeda dengan cara mereka bertingkah laku di masa lampau. Jadi, karena bisa berpikir dan bertindak sampai menjadikan dirinya berubah, mereka bukan korban-korban pengondisian masa lampau yang pasif. Ellis tidak sepenuhnya menerima pandangan eksistensial tentang kecenderungan mengaktualkan diri disebabkan oleh fakta bahwa manusia adalah makhluk-makhluk biologis dengan kecenderungan-kecenderungan naluriahnya yang kuat untuk bertingkah laku dengan cara-cara tertentu. Dari situ Ellis menyatakan bahwa bila individu-individu tidak dikondisikan untuk berpiir dan merasa dengan cara tertentu, maka merek cenderung untuk bertingkah laku dengan cara demikian meskipun mereka menyadari bahwa tingkah laku itu menolak dan meniadakan diri. Ellis berpendapat, tidaklah tepat anggapan menyebutkan bahwa pertemuan eksistensial denga teraqpis yang bersikap menerima, permisif, dan otentik biasanya membongkar pola-pola tingkah laku meniadakan diri yang berakar dalam. TRE dan Teori Kepribadian Pandangan teoritis tentang ciri-ciri tertentu kepribadian dan tingkah laku berikut gangguan-gangguannya memisahkan terapi rasional-emotif dari teori yang melandasi sebagian besar pendekatan terapi yang lainnya. Rangkuman pandangan TRE tentang manusia adalah sebagai berikut. Neurosis, yang didefenisikan sebagai “berpikir dan bertingkah laku irasional”, adalah suatu keadaan alami yang pada taraf tertentu menimpa kita semua. Keadaan ini berakar dalam pada kenyataan bahwa kita adalah manusia dan hidup dengan manusia-manusia lain dalam masyarakat. Psikopatologi pada mulanya dipelajari dan diperhebat oleh timbunan keyakinan-keyakinan irasional yang berasal dari orang-orang yang berpengaruh selama masa kanak-kanak.. bagaimanapun, kita secara aktif membentuk keyakinan-keyakinan keliru dengan proses-proses otosugesti dan repetisi diri. Oleh karena itu, sikap-sikap yang difungsional hidup dan bekerja di dalam diri kita lebih disebabkan oleh pengulangan pemikiran-pemikiran irasional yang diterimakan pada masa dini yang dilakukan oleh kita sendiri daripada oleh pengulangan yang dilakukanolehorangtua. Emosi-emosi adalah produk pemikiran manusia. Jika kita berpikir buruk tentang sesuatu, maka kita pun akan merasakan sesuatu itu sebagai hal yang buruk. Ellis (1976, hlm. 82) menyatakan bahwa “gangguan emosi pada dasarnya terdiri atas kalimat-kalimat atau arti-arti yang keliru, tidak logis dan tidak bisa disahihkan, yang diyakini secara dogmatis dan tanpa kritik, dan terhadapnya, orang yang terganggu beremosi atau bertindak sampai ia sendiri kalah”. TRE menekankan bahwa menyalahkan adalah inti sebagian besar gangguan emosional. Oleh karena itu , jika kita ingin menyembuhkan orang yang neurotic atau psikotik, kita harus menghentikan penyalahan diri dan penyalahan terhadap orang lain yang ada pada orang tersebut. Orang perlu belajar untuk menerima dirinya sendiri dengan segala kekurangannya. Kecemasan bersumber pada pengulangan internal dari putusan “aku tidak menyukai tingkah laku sendiri dan aku ingin mengubahnya” dan kalimat menyalahkan diri “karena tingkah laku yang keliru dan kesalahan-kesalahanku, aku menjadi orang yang tak berharga, aku malu, dan aku patut menderita.” Menurut TRE, kecemasan semacam itu tidak berguna. Orang bisa dibantu untuk menyadari bahwa putusan-putusan irasional yang dipertahankannya itu keliru dan untuk melihat penyalahan diri yang telah menjebaknya. TRE menandaskan bahwa orang-orang tidak perlu diterima dan dicintai, bahkan meskipun hal itu diinginkannya. Terapis mengajari para klien bagaimana merasakan kesakitan, bahkan apabila para klien itu memang tidak diterima dan tidak dicintai oleh orang-orang lain yang berarti. Meskipun mendorong orang-orang untuk mengalami kesedihan karena tidak diterimna oleh orang-orang lain yang berarti, terapis TRE berusaha membantu mereka untuk mengatasi segenap manifetasi dari depresi, kesakitan, kehilangan rasa berharga dan kebencian. TRE berhipotesis bahwa karena kita tumbuh dalam masyarakat, kita cenderung menjadi korban dari gagasan-gagasan yang keliru, cenderung mereindoktrinasi diri gagasan-gagasan tersebut berulang-ulang dengan cara yang tidak dipikirkan dan autosugestif, dan kita tetap mempertahankan gagasan-gagasan yang keliru itu dalam tingkah laku overt kita. Beberapa gagasan irasional yang menonjol yang terus-menerus diinternalisasi dan tanpa dapat dihindari mengakibatkan kekalahan diri. Ellia (1967, hlm. 48), berpendapat sebagai berikut: 1. Gagasan bahwa sangat perlu bagi orang dewasa untuk dicintai atau disetujui oleh setiap orang yang berarti di masyarakatnya; 2. Gagasan bahwa seseorang harus bernar-benar kompeten, layak dan berprestasi dalam segala hal jika seseorang itu menginginkan dirinya dihormati. 3. Gagasan bahwa orang-orang tertentu buruk, keji, atau jahat, dan harus dikutuk dan dihukum atas kejahatannya. 4. Gagasan bahwa lebih mudah menghindari daripada mengahadapi kesulitan-kesulitan hidup dan tanggung jawab pribadi; 5. Gagasan bahwa adalah merupakan bencana yang mengerikan apabila hal-hal menjadi tidak seperti yang diharapkanm; 6. Gagasan bahwa ketidakbahagiaan manusia terjadi oleh penyebab-penyebab dari luar dan bahwa orang-orang hanya memiliki sedikit atau tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan kesusahan-kesusahan dan gangguan-gangguannya dan 7. Gagasan bahwa masa lampau adalah determinan yang terpenting dari tingkah laku seseorang sekarang dan bahwa karena dulu sesuatu pernah mempengaruhi kehidupans eseorang, maka sesuatu itu sekarang memiliki efek yang sama. Teori A-B-C tentang kepribadian Teori A-B-C tentang kepribadian sangatlah penting bagi teori dan praktek TRE. A adalah keberadaan suatu fakta, suatu peristiwa, tingkah lakuatau sikap seseorang. C adalah konsekuensi atau reaksi emosional seseorang; reaksi ini bisa layak bisa pula tidak layak. A (peristiwa yang mengaktifkan) bukan penyebab timbuknya C (konsekuensi emosional). Alih-alih, B, yaitu keyakinan individu tentang A, yang menadi penyebab C, yakni reaksi emosional. Misalnya, jika sesorang mengalami depresi sesudah perceraian, bukan perceraian itu sendiri yang menjadi penyebab timbulnya reaksi depresif, melainkan keyakinan orang itu tentang perceraian sebagai kegagalan ,penolakan atau kehilangan teman hidup. Ellis berkeyakinan akan penolakan dan kegagalan (pada B) adalah yang menyebabkan depresi (pada C), jadi bukan peristiwa perceraian yang sebenernya (pada A). jadi, manusia bertanggung jawab atas penciptaan reaksi-reaksi emosional dan gangguan-gangguannya sendiri. Bagaimana gangguan emosional dipertahankan? Gangguan emosional itu dipertahankan oleh putusan-putusan yang tidak logis yang terus-menerus diulang oleh individu, seperti “aku benar-benar bersalah karena bercerai,” “aku memang sial,dan swgala yang kulakukan salah,” “aku orang yang tak berharga,” “ aku merasa kesepian dan tertolak, dan ini adalah bencana yang mengerikan.” Ellis (1974, hlm. 312) menyatakan bahwa “anda merasakan sebagaimana yang anda pikirkan”. Reaksi-reaksi emosional yang terganggu seperti depresi dan kecemasan diarahkan dan dipertahankan oleh sistem keyakinan yang meniadakan diri, yang berlandaskan gagasan-gagasan yang irasional yang telah dimasukkan oleh individu ke dalam dirinya. Meskipun Ellis percaya bahwa gangguan-gangguan emosional bisa dihilangkan atau diperbaiki dengan menangani perasaan-perasaan (depresi, kecemasan, kebencian, ketakutan, dan sebagainya) secara langsung, ia menyatakan bahwa “teknik yang paling cepat, paling mendasar, paling rapi, dan memiliki efek paling lama untuk membantu orang-orang dalam mengubah respons-respons emosionalnya yang disfungsionalnya barangkali adalah mendorong mereka agar mampu melihat dengan jelas apa yang dikatakan oleh mereka kepada diri mereka sendiri – pada B, sistem keyakinan mereka tentang stimulus-stimulus yang mengenai diri mereka pada A (pengalaman-pengalaman yang mengaktifkan) dan mengajari mereka bagaimana secara aktif dan tegas membantah (pada D). keyakinan-keyakinan irasional mereka sendiri” (Ellis, 1974, hlm. 312-313) Pada kesempatan ;ain, Ellis (1973a,hlm. 179-180) menandaskan bahwa karena manusia memiliki kesanggupan untuk berpikir, maka manusia mampu “melatih dirinya sendiri untuk mengubah atau menghapus keyakinan-keyakinan yang menyabotase diri sendiri”. Untuk memahami dan mengonfrontasikan sistem-sistem keyakinan diperlukan disiplin diri, berpikir, dan belajar. Perubahan-perubahan kuratif dan preventif atas kecenderungan-kecenderungan menciptakan gangguan menjadi mungkin iika orang-orang dibantu dalam usahanya memperoleh pemahaman atas “pemikiran yang serong” dan atas “beremosi dan bertindak yang tidak layak”. Bagaimana membantu orang-orang untuk mengubah “sistem-sistem keyakinan magis”nya? Ellis (1973a, hlm. 179-180) menjawab, “melalui terapis yang sangat aktif-direktif, didaktif, filosofis, dan yang merancang pekerjaan rumah bagi klien-lah (yang boleh jadi memiliki ataupun tidak memiliki hubungan pribadi yang hangat dengan mereka) mereka tampaknya akan lebih bisa mengubah secara radikal keyakinan keyakinan pencipta geala mereka disbanding dengan apabila mereka ditangani oleh terapis psikoanalitik ,client-centered, eksistensialis konvensional, atau oleh terapis pemodifikasi tingkah laku klasik”. TRE berasumsi bahwa karena keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai irasional orang-orang berhubungan secara kausal dengan gangguan-gangguan emosional dan behavioral-nya, maka cara yang paling efisien untuk membantu orang-orang itu dalam membuat perubahan-perubahan kepribadiannya adalah mengonfrontasikan mereka secara langsung dengan filsafar hidup mereka sendiri, menerangkan kepada mereka bagaimana gagasan-gagasan mereka sampai menjadikan mereka terganggu, menyerang gagasan-gagasan iraqsional mereka di atas dasar-dasar logika, dan mengajari mereka bagaimana berpikir secara logis dan karenanya mendorong mereka untuk mampu mengubah atau menghapus keyakinan-keyakinan irasionalnya serta menyerang, menantang, mempertanyakan, dan membahas keyakinan-keyakinan yang irasional itu. Setelah A-B-C menyusul D, membahas bahwa pada dasarnya D adalah penerapan metode ilmiah umtuk membantu para klien menantang keyakinan-keyakinannya yang irasional yang telah mengakibatkan gangguan-gangguan emosi dan tingkah laku. Karena prinsip-prinsip logika bisa diajarkan, prinsip-prinsip ini biusa digunakan untyuk menghancurkan hipotesis-hipotesis yang tidak realistis dan yang tidak bisa diuji kebenarannya. Metode logikoempirus ini bisa membantu para klien menyingkirkan -ideologi yang merusak diri. CONTOH : 1. Misalnya jika seseorang mengalami depresi sesudah perceraian, bukan perceraian itu sendiri yang menjadi penyebab timbulnya reaksi depresif, melainkan keyakinan orang itu tentang perceraian sebagai kegagalan, penolakan atau kehilangan teman hidup. 2. Misalnya juga kita merasakan sangat tidak percaya diri saat berada di hadapan banyak orang, bukan di hadapan banyak orang itu yang menyebabkan timbulnya reaksi depresif, melainkan keyakinan orang itu tentang penolakan dan ketakutannya DAFTAR PUSTAKA : Gunarsa,D.Singgih (1996) Konseling dan Psikoterapi Jakarta : PT.BPK Gunung mulia Gerald Corey (2007) Teori dan Praktek Konseling Bandung : PT Refika aditama NAMA : RIEFA AMANDA PUTRI , 10509254 , 3PA03 KELAS : 3PA03

Kamis, 06 Oktober 2011

KEBUDAYAAN INDIS

Kebudayaan Indis
Materi 1
Andreas Anthony (11509408)
Ma'ruf Purwo Pujasera (10509666)
Rezi Dwi Saputra (16509726)
Riefa Amanda (10509254)
Rizky Fajar (16509521)

Psikologi Lintas Budaya

Pendahuluan

Kolonialisme yang dibuat oleh Belanda pada nusantara Indonesia ini menyebabkan suatu proses enkulturasi, lebih daripada itu bahkan menciptakan/melahirkan sebuah kebudayaan baru yang bercirikan kebudayaan Belanda dan pribumi Jawa kebudayaan baru yang terbentuk ini biasa dikenal orang dengan kebudayaan Indis.
Tujuh unsur universal budaya yang telah ada dalam masyarakat pribumi Jawa terpengaruh oleh kebudayaan Belanda dan terbentuk kebudayaan baru kemudian budaya tersebut mencirikan keunikkannya sendiri. Jadi dalam hal ini faktor budaya yang mempengaruhi perilaku manusia. Yang terdapat paparan mengenai kepribadian individu yang dipandang sebagai hasil bentukan sistem sosial yang didalamnya tercakup budaya

Tinjauan Pustaka
Bagaimana kita suka / tidak suka terhadap sesuatu dan pada akhirnya menentukan perilaku kita. Sikap kita berorientasi kepada respon sikap adalah suatu bentuk dari perasaan, yaitu perasaan mendukung atau memihak (favourable) maupun perasaan tidak mendukung (Unfavourable) pada suatu objek. Sikap juga berorientasi kepada kesiapan respon, sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu, apabila dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon. Sikap merupakan suatu pola perilaku, tendenasi atau kesiapan antisipatif untuk menyesuaikan diri dari situasi sosial yang telah terkondisikan.
Komponen atau Struktur Sikap
Menurut Mar’at (1984):
1. Komponen kognisi yang berhubungan dengan belief (kepercayaan atau keyakinan), ide, konsep yaitu persepsi, stereotipe, opini yang dimiliki individu mengenai sesuatu
2. Komponen Afeksi yang berhubungan dengan kehidupan emosional seseorang misalnya menyangkut perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi
3. Komponen Kognisi yang merupakan kecenderungan bertingkah laku seperti ”kecenderungan” : belum berperilaku.
- Interaksi antara komponen sikap: seharusnya membentuk pola sikap yang seragam ketika dihadapkan pada objek sikap. Apabila salah satu komponen sikap tidak konsisten satu sama lain, maka akan terjadi ketidakselarasan akibatnya terjadi perubahan sikap .
Dalam hal akulturasi budaya hingga menciptakan suatu kebudayaan yang baru, maka generasi baru yang muncul mempergunakan persepinya untuk membandingkan keadaan akar budaya Belanda dan budaya pribumi Jawa, ini tidak berhenti sampai disitu saja namun terus berlanjut hingga terbentuk suatu sikap
Pembentukan Sikap
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap:
1. Pengalaman pribadi
§ Dasar pembentukan sikap: pengalaman pribadi harus meninggalkan kesan yang kuat
§ Sikap mudah terbentuk jika melibatkan faktor emosional
2. Kebudayaan
§ Pembentukan sikap tergantung pada kebudayaan tempat individu tersebut dibesarkan
§ Contoh pada sikap orang kota dan orang desa terhadap kebebasan dalam pergaulan
3. Orang lain yang dianggap penting (Significant Otjhers)
§ yaitu: orang-orang yang kita harapkan persetujuannya bagi setiap gerak tingkah laku dan opini kita, orang yang tidak ingin dikecewakan, dan yang berarti khusus
§ Misalnya: orangtua, pacar, suami/isteri, teman dekat, guru, pemimpin
§ Umumnya individu tersebut akan memiliki sikap yang searah (konformis) dengan orang yang dianggap penting.
Hal-hal yang dipandang oleh para keturunan adalah ketidak nyamanan ketika harus menjadi salah seorang pribumi yang harus bekerja keras untuk memperoleh sesuatu, namun karena adanya kesempatan sebagai seorang keturunan Indo-Belanda maka mereka membuat dirinya lebih tinggi status sosialnya daripada pribumi asli Jawa dengan memanfaatkan garis keturunan campuran, sehingga mereka tidak pernah mau untuk menyebut dirinya pribumi namun mencirikan diri mereka sendiri sebagai suatu kebudayaan baru.

Awal kehadiran orang Belanda
Pada abad ke-16, bangsa Belanda datang ke nusantara Indonesia untuk melakukan perdagangan dengan membeli rempah-rempah kepada orang-orang pribumi setempat, tapi kemudian tujuan organisasi perdagangan Belanda (VOC) berkembang. Mereka ingin menetap, yang selanjutnya digunakan pertahanan dan konsolidasi kekuatan, memonopoli perdagangan hingga menjadi penguasa terhadap seluruh nusantara. Akhir dari semunya adalah kolonialisme yang diterapkan oleh Belanda atas seluruh Indonesia (Hindia Belanda)
Politik liberal serta struktur feodal yang diberlakukan oleh Belanda mengakibatkan semakin luas dan berkembangnya perusahaan swasta, hal ini berdampak pada meningkatnya jumlah tenaga kerja (buruh dan birokrasi). Tenaga buruh yang dapat diambil dari rakyat/pribumi jelata yang tidak berpendidikan kemudian untuk tenaga birokrasi perkantoran golongan rendah dan menengah diambil dari rakyat/pribumi Indonesia (suku jawa) yang berpendidikan sekolah, sedangkan pemegang kendali –kendali perusahaan langsung dipegang oleh orang Belanda yang banyak datang ke Indonesia
Kebudayaan baru pun muncul. Karena adanya larangan bagi orang-orang Belanda untuk membawa istri atau mendatangkan perempuan Belanda ke Hindia Belanda (Indonesia). Maka daripada itu lelaki Belanda terdorong untuk menikahi penduduk setempat. Maka, terjadilah percampuran darah yang melahirkan anak-anak campuran, dan menumbuhkan budaya dan gaya hidup Belanda-pribumi yang kita sebut gaya indis. Kemudian, pada tahun 1870 ketika terusan suez dibuka, hal itu berarti memperpendek jarak tempuh antara negeri Belanda dengan Hindia Belanda, hingga menyebabakan arus kehadiran perempuan semakin banyak, kehadiran perempuan Eropa ke nusantara pun memperluas percampuran kebudayaan yang telah terbentuk.

Kebudayaan Indis
Semakin banyaknya orang-orang Belanda yang datang ke Hindia Belanda dan membentuk koloni sendiri dan selain itu mereka juga ada yang menikahi orang pribumi (jawa) membuat terjadinya proses asimilasi semakin cepat, pertemuan antara budaya Belanda dan budaya jawa disebut dengan kebudayaan indis
Kebudayaan indis merupakan fenomena historis karena menghasilkan/mempengaruhi tujuh unsur-unsur universal budaya yang telah ada dalam masyarakat pribumi jawa sebelumnya.
Masyarakat pendukung kebudayaan Indis
Kehadiran bangsa Belanda sebagai penguasa di pulau jawa menyebabkan pertemuan dua kebudayaan, yaitu budaya barat dan timur. Kebudayaan barat (Belanda) dan kebudayaan timur (jawa) masing-masing didukung oleh etnis dan struktur sosial yang berbeda dan semakin bercampur. Sejak abad ke-18 sampai awal abad kw-20 muncul golongan sosial baru sebagai pendukung kuat kebudayaan campuran (Belanda-jawa) di daerah jajahan Hindia Belanda.
Ketujuh unsur universal yang tepengaruh budaya Belanda ialah Bahasa (lisan dan tertulis), peralatan perlengkapan hidup manusia, mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, kesenian, ilmu pengetahuan dan religi.
Misalnya perkembangan dalam bidang pendidikan dan organisasi menyebabkan modernisasi pada masyarakat Indis. Masyarakat pribumi yang berpendidikan barat menjadi terangkat martabatnya, mereka pun menjadi bersikap kooperatif terhadap Belanda. Dan hal ini menumbuhkan golongan sosial baru yang mempunyai fungsi dan status baru yang menurut Sartono Kartodirdjo dibagi kedalam lima stratifikasi yaitu (1) Elite birokrasi yang terdiri atas Pangreh Praja Eropa dan Pangreh Praja Pribumi (2) Priyayi birokrasi termasuk priyayi ningrat (3) Priyayi professional (dibagi menjadi dua ada golongan priyayi gedhe dan priyayi cilik (4) Golongan Belanda dan golongan indo yang secara formal masuk status Eropa (5) Orang kecil (wong cilik). Golongan masyarakat tersebut, kecuali wong cilik, merupakan pendukung kuat kebudayaan indis
Aspek kognitif juga ikut mempengaruhi individu masyarakat indis, jika pribumi asli jawa akan canggung dengan suasana tempat tinggal bergaya barat yang modern. Lain halnya dengan masyarakat indis, mereka memodifikasi tempat tinggal dengan sedemikian rupa, jika mereka canggung atau merasa tidak nyaman dengan suasana tempat tinggal, mereka akan hanya menyesuaikan bentuk bangunannya.
Aspek normatif menunjukan keadaan yang dianggap sebagai hal yang berharga, yang menjadi tuntutan dan tujuan untuk memperoleh hidup yang lebih baik dibawah kekuasaan pemerintahan kolonial. Sebagai contoh seorang pejabat pribumi, jika rumahnya masih bergaya jawa maka akan sulit untuk merundingkan sesuatu yang sifatnya rahasia secara face to face dalam ruangan pendapa, sedang tamu-tamu yang lain ikut hadir mengelilinginya. Oleh karena itu ia harus menyesuaikan ruangan dalam rumah agar tidak bercampur-baur.
Aspek afektif, yaitu tindakan kelompok yang menunjukan situasi. Aspek ini dikaitkan dengan aspek kehidupan berumah tangga, terutama komposisi sebuah keluarga yang tinggal dalam sebuah rumah.
Komposisi sosial. Keturunan kedua golongan masyarakat Belanda dan pribumi yang disebut indo masih tetap menganggap budaya masa lampau perlu untuk dibanggakan, karena perlu menggunakan budaya barat demi karir jabatan dan prestise dalam hidup masyarakat kolonial.
Sejak awal kehadiran bangsa Belanda telah terjadi kontak budaya yang kemudian menghasilkan perpaduan budaya. Kebudayaan campuran yang didukung oleh segolongan masyarakat Hindia Belanda itu disebut kebudayaan Indis. Dalam proses akulturasi dua kebudayaan tersebut, peran penguasa kolonial di Hindia Belanda sangat menentukan. Sementara itu, bangsa Indonesia menerima nasib sebagai bangsa terjajah serta menyesuaikan diri. Sebelum bangsa Belanda hadir, masyarakat pribumu Jawa sudah mengenal teknologi dengan cukup baik. Mereka sudah mahir mengolah bahan-bahan kayu, batu, logam dan tanah liat. Hal itu tampak dari gaya arsitektur rumah yang berelemen kayu dan bangunan candi yang berelemen batu. Bakat-bakat teknologi ini kemudian mereka padukan dengan pengetahuan dari Eropa-Belanda. Setelah terjadi proses akulturasi, mereka menghasilkan berbagai alat kelengkapan hidup seperti pakaian, arsitektur, dan alat-alat produksi bergaya Indis.

Gaya hidup masyarakat indis
Gaya hidup golongan masyarakat pendukung kebudayaan indis menunjukan perbedaan mencolok dengan kelompok-kelompok sosial lainnya, terutama dengan kelompok masyarakat tradisiona jawa. Tujuh unsur universal kebudayaan indis, seperti halnya tujuh unsur universal yang dimiliki semua bangsa, mendapatkan bentuk yang berbeda dari akar budaya Belanda ataupun budaya pribumi Jawa. Sebagai golongan penguasa dan keturunan masyarakat yang mendukung dua akar kebudayaan yang berbeda, mereka berupaya untuk menunjukan kebesarannya yang berbeda pula dengan masyarakat kebanyakan. Kehidupan sosial dan ekonomi yang rata-rata lebih baik dibandingkan dengan kehidupan sosial masyarakat pribumi pada umumnya, memungkinkan mereka memiliki rumah tinggal berukuran besar yang bagus di dalam kompleks yang wilayahnya khusus pula, dalam hal ini, mereka mengacu pada lambang-lambang penguasa jawa dan kebesaran kekuasaan bangsa Eropa. selain itu mereka memulai kehidupan mewah dan boros akibat keberhasilan di bidang ekonomi melalui pengaruhnya sebagai anggota/bagian masyarakat indis. Dengan gaya hidup yang mewah itu mereka memepertahankan martabat dan kekuasaan koloninya. Kedudukan sebagai kelompok penguasa membuat masyarakat indis berupaya menjaga prestise dan kedudukanyaa melalui berbagai cara agar dapat dibedakan dengan kelompok masyarakat lainnya. Kewibawaan, kekayaan dan kebesarannya ditampilkan agar tampak lebih mewah dan agung. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan kekuasaan mereka di nusantara.

Daur hidup dan gaya hidup mewah
Daur hidup (Life cycle) adalah suatu rangkaian dalam perkembangan kehidupan seseorang untuk kembali ke status aslinya dari satu tingkat ke tingkat berikutnya. Dalam membahas kemewahan gaya hidup masyarakat indis yang berhubungan dengan daur hidup ada tiga peristiwa penting dalam daur kehidupan manusia yaitu kelahiran, perkawinan dan kematian.
Upacara kelahiran, kelahiran anggota baru dalam keluarga indis, lazim dirayakan dengan berbagai upacara. Sebelum melahirkan keluarga sufah menyiapkan baju Rajang unruk si bayi dan juga kelengkapan persalinan dan ruang tidur. Upacara penting setelah kelahirna adalah pemberian nama dan pembaptisan. Dari keseluruhan upacara-upacara untuk menyongsong kelahiran anak tidak terlalu banyak menelan biaya.
Upacara Pernikahan. Upacara Pernikahan memerlukan biaya yang lebih besar dibandingkan dengan upacara kelahiran. Kemewahan upacara perkawinan ditentukan oleh kekayaan, tingkat jabatan, serta keberuntungan kedua calon pengantin dan orangtua pengantin
Upacara kematian. Upacara daur kehidupan yang terakhir adalah upacara kematian. Upacara kematian diselanggarakan dengan mewah dan menelan banyak biaya sangat besar. Misalnya untuk upacara kenatian oejabat VOC atau pemerintah Hindia Belanda memerlukan banyak pengerahan tenaga dan pemikiran berbagai pihak. Pengerahan dilakukan oleh banyak pihak, mulai dari keluarga, rohaniawan, pejabat sipil, militer, sampai serdadu dan pemikul peti jenazah atau penggali kubur. Pada masa kejayaan VOC, upacara yang berhubungan dengan kematian seorang pejabat tinggi justru merupakan ajang pamer kemewahan, kebesaran dan kemegahan.

Kesimpulan
Kebudayaan indis adalah perpaduan antara budaya Belanda dan Indonesia (Jawa) yang mendapatkan bentuk yang berbeda dari akar budaya Belanda ataupun budaya pribumi Jawa. Hal ini disebabkan oleh karena pernikahan yang dilakukan oleh para lelaki Belanda kepada perempuan pribumi Jawa dan juga karena faktor pendidikan yang dapat diakses oleh beberapa/sebagian orang bangsa pribumi Jawa.
Masyarakat Indis tidak mau disamakan menjadi setingkat bangsa pribumi jawa yang lain namun karena mereka mempunyai akses untuk mengidentifikasi diri mereka menjadi warga eropa maka hal itu dimanfaatkan. Sehingga mereka dapat menduduki posisi setingkat diatas para pribumi jawa yang berarti juga mereka memiliki kekhususan dalam kehidupan sosial, ekonomi dibandingkan dengan masyarakat pribumi. Perlahan-lahan mereka mengadopsi budaya Belanda dan jawa, memadukan dua kebudayaan, mengambil yang bermanfaat dan yang berguna bagi kelangsungan masyarakat mereka dimulai dari cara berbahasa, peralatan perlengkapan hidup, mata pencaharian hidup dam sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, kesenian, ilmu pengetahuan dan religi. Perubahan budaya ini diawali oleh proses berpikir oleh para keturunan atau masyarakat indis yang tidak mau status sosialnya disamakan atau disederajatkan dengan pribumi lain sehingga mereka terlihat berbeda dari barbagai aspek terhadap budaya bangsa Belanda dan pribumi jawa, seperti bentuk dan fungsi rumah, mata pencaharian, dan kesenian. Jadi diantara seluruh tatanan kebudayaan Belanda dan Kebudayaan Jawa terdapat kebudayaan Indis yang menarik masyarakatnya untuk berperilaku ke Belandaan dan tetap mengakar pada budaya pribumi jawa.
Dengan demikian kebudayaan Indis merupakan produk dari pengaruh kebudayaan barat sekaligus bagian dari kebudayaan modern Indonesia.

Saran
Dilihat dari satu sisi penjajahan/kolonialime yang dibuat bangsa Belanda di nusantara ini bersifat negatif, namun jika kita membuka cakrawala pikiran kita ternyata ada sisi positif yang terbawa dari bangsa Belanda kepada bangsa Indonesia, hal itu tercakup dalam terciptanya masyarakat Indis yang berpendidikan yang lebih menghargai nilai-nilai positif suatu budaya lain.

Daftar Pustaka

Soekiman, Djoko. 2011.Kebudayaan Indis dari zaman kompeni sampai revolusi. Jakarta : komunitas bambu.

Sabtu, 09 April 2011

Cinta dan Perkawinan

Cinta dan Perkawinan
Bachty Halomoan S (15509377)
Fadil Wahyu Adhitama (15509192)
Fryanto (15509865)
Hasni Yulianti (13509664)
Riefa Amanda Putri (10509254)
Kelas : 2PA03
Fakultas/Jurusan : Psikologi/S1 – Psikologi
Universitas : Gunadarma

Definisi Cinta
Cinta, satu kata yang memiliki ribuan makna. Manusia memiliki ketertarikan sendiri dalam merasakan, menggambarkan dan memaknai arti kata ini. Banyak ilmuwan tertarik dan berupaya membahas secara mendalam akan makna yang terkandung dibalik kata cinta dari berbagai aspek kajian keilmuwan, social, kesehatan, ilmu agama bahkan ilmu alam. Begitu pula dengan para psikolog dan ilmuwan psikologi. Mereka melakukan berbagai penelitian, membentuk konsep-konsep untuk menjelaskan akan arti cinta dari sudut pandang psikologis. Diantara banyaknya jumlah ilmuwan psikologi yang membahas mengenai cinta, penulis mencoba mengambil beberapa definisi untuk menjelaskan definisi cinta.
Ashley Montagu, seorang Psikolog Amerika memandang cinta sebagai sebuah perasaan memperhatikan, menyayangi, dan menyukai yang mendalam. Biasanya, rasa cinta disertai dengan rasa rindu dan hasrat terhadap objek yang dicintai.
Elain dan William Walsten lebih menekankan suatu keterlibatan individu yang mendalam saat mendefinisikan cinta. Keterlibatan diasosiasikan dengan timbulnya rangsangan fisiologis yang kuat dan diiringi dengan perasaan mendambakan pasangan dan keinginan untuk memuaskannya.
Menurut Robert Sternberg, cinta adalah sebuah kisah yang ditulis oleh setiap orang. Kisah tersebut merefleksikan kepribadian, minat dan perasaan seseorang terhadap suatu hubungan. (Tambunan, 2001) menurutnya, kisah tersebut telah ada pada manusia dan proses pembentukkannya terbentuk melalui pengalaman, cerita dan sebagainya. Kisah ini pula yang akan membentuk bagaimana seseorang bersikap dan bertindak dalam suatu pola hubungan.
Scott Peck yang sepanjang karirnya dalam psikologi berusaha menghasilkan karya dan menjelajahi definisi cinta dan kejahatan menggambarkan cinta sebagai kombinasi dari “perhatian akan perkembangan spiritual orang lain“ serta narcisisme biasa. Berbeda dengan psikolog dan ilmuwan psikologi lainnya, Erich Fromm menekankan cinta sebenarnya pada cinta yang dewasa.Cinta yang dewasa adalah penyatuan didalam kondisi tetap memelihara integritas seseorang, individualitas seseorang. Cinta adalah kekuatan aktif dalam diri manusia, kekuatan yang meruntuhkan tembok yang memisahkan manusia dari sesamanya, yang menyatukan dirinya dengan yang lain ; cinta membuat dirinya mengatasi perasaan isolasi dan keterpisahan, namun tetap memungkinkan dirinya menjadi dirinya sendiri, mempertahankan integritasnya.
Teori Cinta
Dari banyaknya definisi mengenai cinta yang diungkapkan para ilmuwan, penulis tertarik dengan ide-ide yang diungkapkan oleh Erich Fromm dan Robert Sternberg. Keduanya mencoba menjelaskan cinta dari sudut pandang masing-masing. Fromm memulai pembahasan mengenai cinta dengan terlebih dahulu membahas mengenai manusia dan eksistensinya. Sementara itu, setelah mendefinisikan cinta sebagai suatu kisah, Sternberg mencoba menjelaskan suatu teori yang disebut segitiga cinta.
Fromm memandang manusia sebagai makhluk yang sadar akan dirinya, mempunyai kesadaran tentang dirinya, sesama, masa lalu, kemungkinan masa depannya dan kesadaran akan eksistensinya sebagai sesuatu yang terpisah. Sadar akan keterpisahan ini merupakan faktor utama munculnya kegelisahan, kecemasan dan dapat menjadi pintu gerbang menuju gangguan kejiwaan. Karenanya, dalam buku The Art Of Loving, Fromm menjelaskan bahwa kebutuhan manusia yang paling dalam adalah kebutuhan untuk mengatasi keterpisahannya dan meninggalkan penjara kesendiriannya. Kegagalan untuk mengatasi keterpisahan ini yang akan menyebabkan gangguan kejiwaan.
Banyak cara dilakukan untuk mengatasi keterpisahan pada tiap individu. Fromm mengungkapkan idenya mengenai cinta sebagai jawaban dari masalah eksistensi manusia. Dalam cinta, terdapat jawaban utuh yang terletak pada pencapaian penyatuan antar pribadi dan peleburan dengan pribadi lain. Hasrat akan peleburan antar pribadi ini yang paling kuat pengaruhnya dalam diri manusia. Inilah kerinduan mendasar, kekuatan yang menjaga ras manusia, keluarga dan masyarakat untuk selalu bersama.
Terdapat dua jenis cinta menurut Formm, cinta penyatuan simbiosis dan cinta yang dewasa. Penjelasannya yaitu :
© Penyatuan Simbiosis, yaitu memiliki pola hubungan antara pasif dan aktif dimana keduanya tidak dapat hidup tanpa yang lain. Bentuk pasif dari penyatuan simbiosis disebut sebagai ketertundukan (submission), dalam istilah klinis disebut sebagai Masokhisme. Pribadi yang Masokhisme keluar dari perasaan isolasi dan keterpisahan yang tak tertahankan dengan menjadikan dirinya bagian dan bingkisan pribadi lain yang mengatur, menuntun dan melindungi dirinya. Bentuk aktif dari penyatuan simbiosis disebut sebagai dominasi (domination), dalam klinis disebut sebagai sadisme. Pribadi yang sadistis ingin keluar dari kesendiriannya dengan membuat pribadi lain menjadi bagian dan bingkisan dirinya.
© Cinta yang dewasa, adalah penyatuan didalam kondisi tetap memelihara integritas seseorang, individualitas seseorang. Cinta adalah kekuatan aktif dalam diri manusia, kekuatan yang meruntuhkan tembok yang memisahkan manusia dari sesamanya, yang menyatukan dirinya dengan yang lain.
Dalam mengatasi keterpisahan pada manusia, hanya cinta yang dewasa yang dapat dijadikan jawaban terbaik. Karakter aktif dari cinta yang dewasa ditunjukkan dengan hasrat untuk memberi daripada menerima. Arti kata memberi disini yaitu perwujudan paling nyata dari potensi diri. Dalam setiap tindakan memberi, individu akan merasakan kekuatan, kekayaan, dan kekuasaan atas dirinya sehingga memberi akan lebih membahagiakan daripada menerima. Sehingga manusia tidak akan memberi untuk menerima. Tetapi dalam batasan memberi yang sesungguhnya. Memberi yang sesungguhnya akan membuat orang lain menjadi pemberi.
Selain tindakan memberi, karakter aktif dari cinta terlihat jelas dalam kenyataan bahwa cinta selalu mengimplikasikan unsur-unsur dasar tertentu. Unsur-unsur dasar dari cinta yaitu Perhatian (Care), Tanggungjawab (Responsibility), Rasa Hormat (Respect) dan Pengetahuan (Knowledge). Fromm (Fromm, 2005) menjabarkannya sebagai berikut :
© Perhatian (Care)
Cinta adalah perhatian aktif pada kehidupan dan pertumbuhan dari apa yang kita cintai. Implikasi dari cinta yang berupa perhatian terlihat jelas dari perhatian tulus seorang ibu kepada anaknya.
© Tanggungjawab (Responsibility)
Tanggungjawab dalam arti sesungguhnya adalah suatu tindakan yang sepenuhnya bersifat sukarela. Bertanggungjawab berarti mampu dan siap menganggapi.
© Rasa Hormat (Respect)
Rasa hormat bukan merupakan perasaan takut dan terpesona. Bila menelusuri dari akar kata (Respicere = melihat), rasa hormat merupakan kemampuan untuk melihat seseorang sebagaimana adanya, menyadari individualitasnya yang unik. Rasa hormat berarti kepedulian bahwa seseorang perlu tumbuh dan berkembang sebagaimana adanya.
© Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan yang menjadi satu aspek dari cinta adalah pengetahuan yang tidak bersifat eksternal, tetapi menembus hingga ke intinya. Perhatian, tanggungjawab, rasa hormat dan pengetahuan mempunyai keterkaitan satu sama lain. Semuanya merupakan sindrom sikap yang terdapat dalam pribadi yang dewasa, yaitu dalam pribadi yang mengembangkan potensi dirinya secara produktif. Berbeda dengan Fromm yang menekankan mengenai sebab, akibat dan aspek-aspek yang menimbulkan cinta dalam penjelasan teori cintanya, Sternberg lebih menekankan pada penjelasan mengenai komponen pembentuk cinta dan beragam jenis cinta yang dihasilkan dari kombinasi tiap komponen.
Teori mengenai komponen cinta disebut pula sebagai teori segitiga cinta. Segitiga cinta mengandung 3 komponen sebagai berikut:

© Keintiman (Intimacy)
Keintiman adalah elemen emosi, yang didalamnya terdapat kehangatan, kepercayaan (trust) dan keinginan untuk membina hubungan.
© Gairah (Passion)
Gairah adalah elemen motivasional yang disadari oleh dorongan dari dalam diri yang bersifat seksual.
© Komitmen
Komitmen adalah elemen kognitif, berupa keputusan untuk secara sinambung dan tetap menjalankan suatu kehidupan bersama. (Tambunan, 2001).
Kombinasi dari ketiga komponen cinta ini dapat membentuk 8 pola hubungan cinta sebagai berikut :
© Liking (Suka)
Seseorang yang hanya mengalami komponen keintiman saja, tanpa adanya gairah dan komitmen
© Infatuated (tergila-gila)
Cinta ini muncul karena adanya hasrat / gairah tanpa disertai keintiman dan komitmen.
© Empty Love.
Cinta ini berasal dari adanya komitmen pada individu tanpa adanya hasrat dan keintiman.
© Romantic Love
Cinta ini muncul dari kombinasi antara keintiman dan hasrat tapi tanpa disertai oleh komitmen.
© Companionate Love
Cinta ini muncul dari kombinasi antara keintiman dan komitmen. Biasanya cinta ini muncul dalam persahabatan yang mana tidak melibatkan hasrat.
© Fatuous Love
Cinta ini muncul dari kombinasi hasrat dan komitmen tanpa adanya keintiman.
© Non Love
Ketiga komponen cinta tidak ada pada pola cinta ini. Pola ini biasanya muncul dalam hubungan dengan sekitar yang tidak menetap.
© Consummate Love
Cinta ini muncul dari kombinasi ketiga komponen cinta (keintiman, hasrat dan komitmen). Cinta ini disebut juga sebagai cinta yang utuh. (Popsy, 2007)

Hubungan Perkawinan
Kualitas hubungan pernikahan sekarang telah menjadi lebih penting daripada keabadian nya. Pada bagian, ini mencerminkan kepercayaan yang tumbuh di antara Amerika bahwa kebahagiaan pribadi adalah hak bukan suatu kemewahan. Akibatnya, pasangan cenderung mengharapkan lebih dari pernikahan mereka daripada di masa lalu dan lebih mungkin untuk mengakhiri pernikahan tidak bahagia dari orangtua mereka. Hal ini menyebabkan beberapa pasangan untuk merumuskan expecttations mereka dan klaim pada satu sama lain dalam kontrak perkawinan dan untuk negotiace perbedaan mereka dengan mata ke arah memaksimalkan kebahagiaan bersama.

Komunikasi dan konflik
Salah satu daerah yang paling penting dari penyesuaian perkawinan adalah belajar untuk berkomunikasi secara efektif dengan pasangan Anda.
Bagaimana memiliki anak?
Sampai saat ini, pasangan yang sudah menikah diharapkan untuk memiliki anak. Namun dalam dekade terakhir pilihan untuk tidak memiliki anak telah menjadi lebih dapat diterima. Umumnya, pasangan akan menunda memiliki anak sampai mereka membuat penundaan final
Perubahan dengan lamanya pernikahan
Hal ini tidak jarang terdengar pasangan yang sudah menikah mengatakan bahwa pernikahan kami saat ini berbeda daripada sepuluh atau lima belas tahun yang lalu. Beberapa pasangan merasa mereka telah tumbuh lebih dekat bersama, sementara yang lain merasa bahwa mereka telah terpisah. Tapi hanya sedikit akan menyangkal bahwa pernikahan mereka telah berubah dengan tahun-tahun.


Sex dalam pernikahan
Sebuah pertengkaran kadang-kadang mungkin berakhir di kamar tidur. Untuk ada hubungan positif yang kuat antara kepuasan pasangan dalam pernikahan mereka dan kehidupan seksual mereka. Rasanya mustahil untuk mengatakan mana yang mempengaruhi lebih lainnya. Bahkan, setiap aspek dari pernikahan adalah sama efektif dalam memprediksi sepuluh tahun lain kemudian.
Perceraian
Perceraian biasanya merupakan krisis yang kompleks, karena beberapa hal yang terjadi pada suatu waktu. Bohannan (1975) telah mengidentifikasi enam dari percobaan yang tumpang tindih umum untuk pengalaman hampir everyones perceraian, meskipun mereka mungkin terjadi dalam urutan yang berbeda dan dengan intensitas yang berbeda torsi untuk torsi.
perceraian emosional yang paling mungkin terjadi terlebih dahulu. Para mitra cenderung menarik diri secara emosional dari satu sama lain, atau untuk hidup bersama berdampingan dengan banyak antagonisme. Perang dingin suasana perceraian emosional sering lebih merusak pada anak-anak dari phsycal. hukum perceraian yang mengikuti.
Beberapa studi menunjukkan bahwa anak-anak dari perceraian mungkin menderita kecemasan kurang dan ketidakmampuan menyesuaikan diri daripada mereka yang dibesarkan di rumah tangga dengan pernikahan utuh tetapi konflik.

Sumber :
Sarlito W. Sarwono & Eko A. Meinarno.2009. Psikologi Sosial. Depok: Salemba Humanika
Fromm, Erich. 2005. The Art Of Loving. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Chaplin.J.P. 1981. Kamus Lengkap Psikologi. PT. RajaGrafindo Persada.,Jakarta
Schultz Duane.1991.Psikologi Pertumbuhan.Kanisius. Yogyakarta.

Rabu, 23 Maret 2011

bencana tsunami di jepang dan dampak-dampaknya dengan kajian psikologi (Post traumatic stress disorder).

Inilah Kisah Para Korban tsunami di jepang
Rabu, 16 Maret 2011 | 07:56 WIB , kompas

Kaori Ohashi juga selamat dari bencana alam gempa dan tsunami itu. Ohashi menyaksikan dengan kengerian saat gelombang lumpur penuh puing menghantam rumah-rumah dan meratakan ladang-ladang. Dia bergegas ke arah rumah perawatan lansia tempatnya bekerja.
Dia melihat mobil-mobil dan pengemudinya terlempar oleh arus air yang mengamuk itu. Korban-korban lain berpegang erat pada pohon-pohon sebelum tsunami menyeret mereka. ”Saya kira hidup saya selesai,” kata Ohashi saat menceritakan kisah dua malam yang mengerikan terperangkap di dalam panti dengan 15 tenaga staf dan 200 lansia setelah bencana hari Jumat lalu itu.
Ohashi (39), ibu dua anak, kini tinggal di sebuah sekolah di Sendai, ibu kota Prefektur Miyagi, bersama 400 pengungsi lainnya. Setiap kali gempa susulan mengguncang gedung, dia melompat untuk memeluk putrinya yang berusia dua tahun.
Hari Jumat, saat lantai satu dari panti itu dipenuhi air berwarna gelap, Ohashi dan rekan-rekan kerjanya berjuang membawa para lansia ke lantai dua dan tiga.
Ohashi dan rekan-rekannya terus sibuk mengurus para lansia itu, memberi mereka makan sedikit tuna kaleng dan sedikit roti dengan senter. Dalam gelap gulita, para tenaga staf membantu para lansia tidur di tikar.
”Kami dalam isolasi total. Kami takut meninggalkan panti karena tsunami dan gempa bisa sewaktu-waktu terjadi,” kata Ohashi yang kemudian bisa menghubungi putranya yang berusia 12 tahun lewat telepon seluler.



Post Traumatic Stress Disorder (Gangguan Stres Pascatrauma)
Dalam cerita tersebut yang dimaksud dengan ketakutan adalah tanggapan atau proses internal atau eksternal yang mencapai tingkat ketegangan fisik dan psikologis sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan subyek (Cooper, 1994). Menurut Hager (1999), stres sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya. Namun, berhadapan dengan suatu stressor (sumber stres) tidak selalu mengakibatkan gangguan secara psikologis maupun fisiologis. Terganggu atau tidaknya individu, tergantung pada persepsinya terhadap peristiwa yang dialaminya. Faktor kunci dari stres adalah persepsi seseorang dan penilaian terhadap situasi dan kemampuannya untuk menghadapi atau mengambil manfaat dari situasi yang dihadapi (Diana, 1991). Dengan kata lain, bahwa reaksi terhadap stres dipengaruhi oleh bagaimana pikiran dan tubuh individu mempersepsi suatu peristiwa. Stressor yang sama dapat dipersepsi secara berbeda, yaitu dapat sebagai peristiwa yang positif dan tidak berbahaya, atau menjadi peristiwa yang berbahaya dan mengancam. Penilaian kognitif individu dalam hal ini nampaknya sangat menentukan apakah stressor itu dapat berakibat positif atau negatif. Penilaian kognitif tersebut sangat berpengaruh terhadap respon yang akan muncul (Selye, 1956)
Dan dalam kejadian tersebut dapat di artikan bahwa korban bencana alam tersebut mengalami Distress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian.

REFERENSI :
1. Rahman Shaleh, Abdul. Psikologi. Kencana Prenada Media Group.
2. Baraja, Abubakar. Psikologi Perkembangan. Studia Press.
3. Sarwono Sarlito W. Pengantar Psikologi Umum. Rajawali Pers

RIEFA AMANDA PUTRI
10509254
2pa03

Selasa, 15 Maret 2011

filsafat manusia menurut ibnu bajjah 2

FILSAFAT MANUSIA MENURUT IBNU BAJJAH

PENDAHULUAN
Latar belakang

Di dunia islam perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di dorong oleh ajaran al-qur’an dan hadis yang menganjurkan kepada umatnya supaya menghargai kekuatan akal dan mencari ilmu pengetahuan dimanapun saja. Filsafat islam dibagian timur dunia islam(masyriqi) berbeda dengan filsafat islam di maghribi(bagian barat dunia islam).di timur terdapat tiga orang filosof terkemuka, al-kindi, al-farabi dan ibnu sina, di barat juga terdapat tiga orang filosof kenamaan, ibn bajjah, ibn thufail dan ibn rusyd. Filsafat islam lebih dulu muncul di timur sebelum di barat, sebagai akibat adanya peradaban yang berpusat di syam dan Persia setelah sebelumnya berpusat di Athena dan iskandariyah. Munculnya filsafat di kawasan maghribi terlambat dua abad lamanya dibanding dengan kehadiranya di kawasan masyriqi, setelah pemerintahan bani umayyah berdiri mantap, tidaklah sukar bagi orang arab menerjemahkan buku filsafat , kegiatan ini di lakukan orang suryan atas dorongan para khalifah dan para penguasa arab.

Pada pertengahan abad ke-4 H, beberapa orang andalus pergi ke kawasan masyriqi untuk menuntut ilmu pengetahuan . karena kebutuhan pembangunan di andalus, orang mulai banyak menuntut ilmu matematika dan ilmu falak. Keadaan seperti itu tetap berlangsung selama dua abad, makin lama kebutuhan akan buku-buku filsafat terasa semakin mendesak, di samping kebutuhan akan buku-buku ilmu pengetahuan. Dengan demikian maka lahirlah pemikir-pemikir filsafat. Dalam suasana perkembangan ilmu seperti tersebut di atas muncullah seorang filosof andalus bernama abu bakar Muhammad bin yahya ibn bajjah. Filsafat ibnu bajjah banyak terpengaruh oleh pemikiran islam dari kawasan di timur, seperti al-farabi dan ibnu sina. Hal ini di sebabkan kawasan islam di timur lebih dahulu melakukan penelitian ilmiah dan kajian filsafat dari kawasan islam di barat (andalus). Dan inilah yang mendasari penulis untuk mengkaji bagaimana sosok ibn bajjah dalam memberikan perhatian dan kontribusi yang sangat besar terhadap dunia filsafat.

Rumusan Masalah

Sebagai tindak lanjut dari latar belakang di atas , kami akan memulai pembahasan berangkat dari rumusan masalah sebagai berikut:
siapa sebenarnya sosok ibn bajjah itu?
Bagaimana pemikiran ibn bajjah tentang filsafat?

PEMBAHASAN
Biografi ibn bajjah dan karyanya

Ia adalah abu bakar Muhammad bin yahya, yang terkenal dengan sebutan ibn us-shaigh atau ibnu bajjah. Orang-orang eropa pada abad pertengahan menamai ibnu bajjah dengan “avempance”,[1] ibnu bajjah adalah filosof muslim yang pertama dan utama dalam sejarah kefilsafatan di Andalusia. Ia di lahirkan di Saragossa (spanyol) pada akhir abad ke-5 H/ abad ke-11 M.riwayat hidupnya secara rinci tidak banyak di ketahui orang. Begitu juga mengenai pendidikan yang ditempuhnya dan guru yang mengasuhnya tidak trdapat informasi yang jelas.

Menurut beberapa literatur, ibnu bajjah bukan hanya seorang filosof ansich[2], tetapi ia juga seorang saintis yang menguasai beberapa disiplin ilmu pengetahuan, seperti kedokteran, astronomi, fisika, musikus, dan matematika. Fakta ini dapat di terima karena di masa itu belum terjadi pemisahan dalam suatu buku antara sains dan filsafat sehingga seseorang yang mempelajari salah satunnya terpaksa bersentuhan dengan yang lain. Ia juga aktif dalam dunia politik, sehingga gubernur Saragossa dault-almurabith, abu bakar ibnu ibrahim al-sahrawi mengangkatnya menjadi wazir. Akan tetapi sewaktu kota Saragossa jatuh ketangan raja alfonso 1 di aragon ibnu bajjah terpaksa pindah ke kota Seville via Valencia. Di kota ini ia bekerja sebagai seorang dokter. Kemudian dari sini ia pindah ke Granada dan selanjutnya berangkat ke afrika utara, pusat kerajaan dinasti murabith barbar. Setelah itu ibnu bajjah berangkat pula ke fez, marokko. Di kota ini ia di angkat menjadi wazir oleh abu bakar yahya ibnu yusuf ibnu tashfin selama 20 tahun. Akhirnya di kota inilah ia menghembuskan napasnya yang terakhir pada bulan ramadhan 533 H/1138 M, menurut beberapa informasi kematianya ini karena di racuni oleh temanya, seorang dokter yang iri hati terhadap kejeniusanya.

Menurut ibnu Thufail, ibnu bajjah adalah seorang filosof muslim yang paling cemerlang otaknya, paling tepat analisanya, dan paling benar pemikiranya. Namun amat disayangkan pembahasan filsafatnya dalam beberapa bukunya tidaklah matang dan sempurna. Ini di sebabkan ambisi keduniaanya yang begitu besar dan kematianya yang begitu cepat. Karya tulis ibnu bajjah yang terpenting dalam bidang filsafat, sebagai berikut.
kitab tadbir al-mutawahhid, ini adalah kitab yang paling populer dan penting dari seluruh karya tulisanya, kitab ini berisikan akhlak dan politik serta usaha-usaha individu menjauhkan diri dari segala macam keburukan-keburukan dalam masyarakat negara, yang disebutnya sebagai insan al-muwahhid (manusia penyendiri).
risalat al-wada, risalah ini membahas penggerak pertama(tuhan), manusia, alam, dan kedokteran.
risalat al-ittisal, risalah ini menguraikan tentang hubungan manusia dengan akal fa’al.
kitab al-nafs, kitab ini menjelaskan tentang jiwa.
beberapa risalah dalam ilmu logika, dan sampai sekarang masih tersimpan di perpustakaan escurial(spanyol).
beberapa ulasan tentang buku-buku filsafat, antara lain dari aristoteles, al-farabi, dan sebagainya.

Menurut carra de vaux, di perpustakaan berlin ada 24 risalah manuskrip karangan ibnu bajjah.
Filsafat ibnu bajjah

Ibnu bajjah adalah ahli yang menyandarkan pada teori dan praktek ilmu-ilmu matematika, astronomi, musik, mahir ilmu pengobatan dan studi-studi spekulatif seperti logika, filsafat alam dan metafisika, ibnu bajjah menyandarkan filsafat dan logikanya pada karya-karya al-farabi[3], dan dia telah memberikan sejumlah besar tambahan dalam karya-karya itu. Dan dia telah menggunakan metode penelitian filsafat yang benar-benar lain, tidak seperti al-farabi dia berurusan dengan masalah hanya berdasarkan nalar semata. Dia mengagumi filsafat aristoteles, yang di atasnya dia membangun sistemnya sendiri. Tapi, dia berkata untuk memahami lebih dulu filsafatnya secara benar. Itulah sebabnya ibnu bajjah menulis uraian-uraian sendiri atas karya-karyanya aristoteles.[4] Uraian-uraian ini merupakan bukti yang jelas bahwa dia mempelajari teks-teks karya aristoteles dengan sangat teliti. Untuk lebih jelasnya, dibawah ini kita akan menelusuri pemikiran filsafatnya.
metafisika (ketuhanan)

Menurut Ibnu bajjah, segalah yang ada (al-maujudat) terbagi dua: yang bergerak dan yang tidak bergerak. Yang bergerak adalah jisim (materi) yang sifatnya finite (terbatas). Gerak terjadi dari perbuatan yang menggerakkan terhadap yang di gerakkan. Gerakan ini di gerakkan pula oleh gerakan yang lain, yang akhir rentetan gerakan ini di gerakkan oleh penggerak yang tidak bergerak; dalam arti penggerak yang tidak berubah yang berbeda dengan jisim (materi). Penggerak ini bersifat azali. Gerak jisim mustahil timbul dari subtansinya sendiri sebab ia terbatas. Oleh karena itu, gerakan ini mesti berasal dari gerakan yang infinite (tidak terbatas) yang oleh ibnu bajjah disebut dengan ‘aql.

Kesimpulanya, gerakan alam ini –jism yang terbatas- digerakkan oleh ‘aql (bukan berasal dari subtansi alam sendiri). Sedangkan yang tidak bergerak adalah ‘aql, ia menggerakkan alam dan ia sendiri tidak bergerak. ‘aql inilah disebut dengan Allah (‘aql, aqil, dan ma’qul) sebagaimana yang dikemukakan oleh al-farabi dan ibnu sina sebelumnya.

Perluh di ketahui bahwa para filosof muslim pada umumnya menyebut Allah itu adalah ‘aql. Argumen yang mereka majukan adalah Allah pencipta dan pengatur alam yang beredar menurut natur rancangan-Nya, mestilah ia memiliki daya berpikir. Kemudian dalam mentauhidkan Allah semutlak-mutlaknya, para filosof muslim menyebut Allah adalah zat yang mempunyai daya berpikir (‘aql), juga berpikir (‘aqil) dan objek pemikiranya sendiri (ma’qul). Keseluruhanya adalah zat-Nya yang Esa.

Sebagaimana Aristoteles, ibnu bajjah juga mendasarkan filsafat metafisikanya pada fisika. Argument adanya Allah adalah dengan adanya gerakan di alam ini. Jadi, Allah adalah azali dan gerakanya adalah bersifat tidak terbatas.

Disinlah letak kelebihan ibnu bajjah walaupun ia berangkat dari filsafat gerak aristoteles, namun ia kembali kepada ajaran islam. Dasar filsafat aristoteles ialah ilmu pengetahuan alam yang tidak mengakui adanya sesuatu di balik alam empiris ini. Kendatipun penggerak pertama berbeda dengan materi, namun ia masih bersifat empiris. Ibnu bajjah tampaknya berupaya mengislamkan argument metafisika aristoteles. Karena itu , menurutnya Allah tidak hanya penggerak, tetapi ia adalah pencipta dan pengatur alam.
JIWA

Menurut pendapat ibnu bajjah, setiap manusia mempunyai jiwa. Jiwa ini tidak mengalami perubahan sebagaimana jasmani. Jiwa adalah penggerak bagi manusia. Jiwa di gerakkan dengan dua jenis alat: alat-alat jasmaniah dan alat-alat rohaniah. Alat-alat jasmaniah antaranya ada berupa buatan dan ada pula berupa alamiah, seperti kaki dan tangan. Alat-alat alamiah ini lebih dahulu dari alat buatan’ yang di sebut juga oleh ibnu bajjah dengan pendorong naluri (al-harr al-garizi) atau roh insting. Ia terdapat pada setiap makhluk yang berdarah.

Jiwa menurut ibnu bajjah, adalah jauhar rohani, akan kekal setelah mati. Di akhirat jiwalah yang akan menerima pembalasan, baik balasan kesenangan (surga) maupun balasan siksaan (neraka). Akal, daya berpikir bagi jiwa, adalah satu bagi setiap orang yang berakal. Ia dapat bersatu dengan akal fa’al yang di atasnya dengan jalan ma’rifah filsafat.
AKAL DAN MA’RIFAH

Ibnu bajjah menempatkan akal dalam posisi yang sangat penting. Dengan perantaraan akal, manusia dapat mengetahui sesuatu, termasuk dalam mencapai kebahagiaan dan masalah ilahiyat. Akal menurut ibnu bajjah terdiri dari dua jenis. Akal teoritis dan akal praktis. Akal teoritis di peroleh hanya berdasarkan pemahaman terhadap sesuatu yang kongkret atau abstrak. Sedangkan akal praktis di peroleh melalui penyelidikan (eksperimen) sehingga menemukan ilmu pengetahuan.

Oleh karena itu, pengetahuan yang di peroleh akal ada dua jenis pula. Yang dapat di pahami , tetapi tidak dapat di hayati; yang dapat dipahami dan dapat pula dihayati.

Berbeda dengan Al-ghazali, menurut ibnu bajjah manusia dapat mencapai puncak ma’rifah dengan akal semata, bukan dengan jalan sufi melalui al-qlb, atau al-zauq. Manusia kata ibnu bajjah, setelah bersih dari sifat kerendahan dan keburukan masyarakat akan dapat bersatu dengan akal aktif dan ketika itulah ia akan memperoleh puncak ma’rifah karena limpahan dari Allah.
AKHLAK

Ibnu bajjah membagi perbuatan manusia kepada dua bagian. Bagian pertama, ialah perbuatan yang timbul dari motif naluri dan hal-hal lain yang berhubungan denganya, baik dekat atau jauh. Bagian kedua ialah perbuatan yang timbul dari pemikiran yang lurus dan kemauan yang bersih dan tinggi dan bagian ini disebutnya, perbuatan-perbuatan manusia.

Pangkal perbedaan antara kedua bagian tersebut bagi ibnu bajjah bukan perbuatan itu sendiri melainkan motifnya. Untuk menjelaskan kedua macam perbuatan tersebut, ia mengemukakan seorang yang terantuk dengan batu, kemudian ia luka-luka, lalu ia melemparkan batu itu. Kalau ia melemparnya karena telah melukainya maka ia adalah perbuatan hewani yang didorong oleh naluri kehewananya yang telah mendiktekan kepadanya untuk memusnahkan setiap perkara yang menganggunya.

Kalau melemparkanya agar batu itu tidak mengganggu orang lain,bukan karena kepentingan dirinya, atau marahnya tidak bersangkut paut dengan pelemparan tersebut, maka perbuatan itu adalah pekerjaan kemanusiaan. Pekerjaan yang terakhir ini saja yang bisa dinilai dalam lapangan akhlak, karena menurut ibnu bajjah hanya orang yang bekerja dibawah pengaruh pikiran dan keadilan semata-mata, dan tidak ada hubunganya dengan segi hewani padanya, itu saja yang bisa dihargai perbuatanya dan bisa di sebut orang langit.

Setiap orang yang hendak menundukkan segi hewani pada dirinya, maka ia tidak lain hanya harus memulai dengan melaksanakan segi kemanusiaanya. Dalam keadaan demikianlah, maka segi hewani pada dirinya tunduk kepada ketinggian segi kemanusiaan, dan seseorang menjadi manusia dengan tidak ada kekuranganya, karena kekurangan ini timbul disebabkan ketundukanya kepada naluri.[5]
MANUSIA PENYENDIRI

Filsafat ibnu bajjah yang paling populer ialah manusia penyendiri (al-insan al-munfarid) dalam menjelaskan manusia penyendiri ini, ibnu bajjah terlebih dahulu memaparkan pengertian tadbir al-mutawahhid. Lafal tadbir, adalah bahasa arab, mengandung pengertian yang banyak, namun pengertian yang diinginkan oleh beliau ialah mengatur perbuatan untuk mencapai tujuan yang di inginkan, dengan kata lain aturan yang sempurna. Dengan demikian, jika tadbir dimaksudkan pengaturan yang baik untuk mencapai tujuan tertentu,maka tadbir tentu hanya khusus bagi manusia. Sebab pengertian itu ,hanya dapat dilakukan dengan perantaraan akal,yang akal hanya terdapat pada manusia. Dan juga perbuatan manusia berdasarkan ikhtiar. Hal inilah yang membedakan manusia dari makhluk hewan.

Lebih lanjut ibnu bajjah menjelaskan tentang tadbir bahwa kata ini mencakup pengertian umum dan khusus .tadbir dalam pengertian umum, seperti disebutkan diatas ,adalah segala bentuk perbuatan manusia. Sementara itu tadbir dalam pengertian khusus adalah pengaturan negara dalam pencapaian tertentu. Yakni kebahagian.pada pihak lain ,filosof pertama spanyol ini menghubungkan istilah tadbir pada Allah swt.maha pengatur, yang disebut al-mutadabbir.ia telah mengatur alam sedemikian rapi dan teratur tanpa cacat. Pemakaian kata ini kepada Allah hanya untuk penyerupaan semata. Akan tetapi,pendapat ibnu bajjah ini memang ada benarnya.tadbir yang akan dilaksanakan manusia mestinya mencontoh kepada tadbirnya allah swt.terhadap alam semesta.selain itu, tadbir hanya bisa dilaksanakan degan akal dan ikhtiar.pengertian ini tercakup manusia yang memiliki akal dan allah yang dalam filsafat disebut dengan aql.

Adapun yang disebut degan istilah al-mutwahhid ialah manusia penyendiri. Degan kata lain, seorang atau beberapa orang, mereka mengasingkan diri masing-masing secara sendiri-sendiri, tidak berhubungan dengan orang lain , mereka harus mengasingkan diri dari sikap dan perbuatan-perbuatan masyarakat yang tidak baik. Mereka cukup hanya berhubungan dengan ulama atau ilmuwan, apabila para filosof tidak melakukan hal demikian mereka tidak akan mungkin berhubungan dengan akal fa’al karena pemikiran mereka akan merosot dan tidak pernah mencapai tingkat akal mustafad,yakni akal yang dapat berhubungan dengan akal fa’al. itulah sebabnya beliau menyamakan manusia penyendiri bagaikan tumbuhan. Jika ia tidak menyendiri dalam menghadapi kondisi seperti itu ia akan layu, artinya pemikiran filsafatnya mengalami kemunduran. Jika ini terjadi filosof di maksud tidak akan pernah mencapai kebahagiaan (sa’adah). Ibnu bajjah dalam filsafatnya ini dapat di kelompokkan ke dalam filosof yang mengutamakan amal untuk mencapai derajat manusia yang sempurna. Pada pihak lain, filsafat manusia penyendiri ibnu bajjah ini cocok dengan zaman modern ini. Manusia apabila hidup dalam masyarakat yang bergelimang dalam kemaksiatan dan kebobrokan atau dalam masyarakat materialistis harus membatasi pergaulanya dalam masyarakat dan ia hanya berhubungan dengan masyarakat ketika memenuhi kebutuhan pokok dalam kehidupannya semata.[6]

DAFTAR PUSTAKA

Mustofa, Filsafat Islam, Jakarta, CV Pustaka Setia: 2004

Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam, filosof dan Filsafatnya, Jakarta: PT, Raja Grafindo, 2004

Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1991

Fuad, Ahmad, Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997
[1] Ahmad hanafi. Pengantar filsafat Islam. (Jakarta: Bulan Bintang,1991) hal. 157


[2] Sirajuddin Zar. Filsafat Islam.(Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2004) hal. 185

[3] A. Mustofa.Filsafat Islam.(Bandung: Cv Pustaka Setia, 2004) hal. 258

[4] Sirajuddin zar, hal, 191

[5] Ibid. hal, 195

filsafat manusia menurut ibnu bajjah 1

Filsafat manusia menurut ibnu bajjah



A. Pendahuluan
Proses sejarah masa lalu, tidak dapat dielakan begitu saja bahwa pemikiran filsafat islam terpengaruh oleh filsafat yunani. Para filosof islam banyak mengambil pemikiran aristoteles dan banyak tertarik terhadap pemikiran platinus. Sehingga banyak teori filosof yunani diambil oleh filosof lslam.
Salah satu diantara para filosof islam tersebut adalah ibn bajjah pada masa kejayaan islam di spanyol. Ibnu bajjah adalah ahli yang menyadarkan pada teori dan praktik dalam ilmu-ilmu matematika, astronomi, musik, mahir ilmu pengobatan dan studi-studi spektakulatif seperti logika, filsafat alam dan metafisika, sebagaimana yang dikatakan oleh De Boer dalam the histoty of philosophi in islam, bahwa dia benar-benar sesuai dengan al-farabi dengan tulisan-tulisannya logika dan secara umum setuju dengannya, bahkan dengan doktrin-doktin fisika dan metafisikannya.
Ibn bajjah menyandarkan filsafat dan logikanya pada karya-karya al-farabi,dan dia telah memberikan sejumlah besar tambahan-tambahan dalam karya-karya itu. Dan dia telah menggunakan metode penelitian filsafat yang benar-benar lain. Tidak seperti al-farabi , dia berurusan segala masalah hanya berdasarkan nalar semata. Dia mengagumi filsafat aristoteles, yang diatasnya dia membangun sistemnya sendiri. Tapi dia berusaha untuk memahami lebih dulu filsafatnya secara benar. Itulah sebabnya ibn bajjah menulis uraian-uraian sendiri atas karya-karyanya aristoteles.
Filsafat bersal dari kata arab falsafah, yang berasal dari bahasa yunani , philosophia, yang berarti philos=cinta, dan Sophia=pengetahuanjadi philosophia cinta kepada kebijaksanaan kebenaran.jadi setiap orang yang berfilsafat maka dia akan bijaksana.
Filsafat juga berarti alam pikiran atau alam berpikir. Berfilsafat artinya berpikir, namun tidak semua berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sebuah semboyan mengatakan semua manusia itu filsuf, semboyan ini benar juga, sebab semua manusia itu berpikir. Akan tetapi, secara umum semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua orang yang berpikir itu adalah filsuf.
Filsuf hanyalah orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan sungguh-sungguh dan mendalam. Tegasnya: filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu.
Adapun pembentukan kata filsafat menjadi kata Indonesia diambil dari kata barat yaitu fil dan safat dari kata arab sehingga terjadilah gabungan antara keduanya dan menimbulkan kata filsafat.

A.Biografi Ibnu Bajjah
Umat Islam telah sampai ke tanah Spanyol (Andalusia) semenjak zaman sahabat Rasul. Kedatangan mereka telah berhasil mempengaruhi kehidupan masyarakat di sana khususnya dalam bidang keilmuan. Sepanjang pemerintahan Islam di Spanyol, telah lahir sejumlah cendikiawan dan sarjana dalam pelbagai bidang ilmu. Sebagian mereka ialah ahli sains, matematika, astronomi, perobatan, filsafat, sastera, dan sebagainya.
Abu Bakr Muhammad Ibn Yahya al-Saigh atau lebih terkenal sebagai Ibnu Bajjah adalah salah seorang diantara para cendekiawan Muslim tersebut,dia berasal dari keluarga al-tujib karena itu ia dikenal sebagai al-tujibi yang bekerja sebagai pedagang emas (bajjah=emas).tetapi di Barat ia lebih dikenal dengan nama Avempace. Ziaduddin Sardar dalam bukunya Science in Islamic Philosopy menabalkan Ibnu Bajjah sebagai sarjana Muslim multi-telenta. Ibnu Bajjah dikenal sebagai seorang astronom, musisi, dokter, fisika, psikologi, pujangga, filsuf dan ahli logika dan matematikus. Sang ilmuwan agung ini terlahir di Saragosa, Spanyol tahun 1082 M. Ibnu Bajjah mengembangkan beragam ilmu pengetahuan di zaman kekuasaan Dinasti Murabbitun.Ibnu Bajjah dikenal sebagai penyair yang hebat. Pamornya sebagai seorang sastrawan dan ahli bahasa begitu mengkilap. Salah satu bukti kehebatannya dalam bidang sastra dibuktikannya dengan meraih kemenangan dalam kompetisi puisi bergengsi di zamannya. Emilio Gracia Gomes dalam esainya bertajuk Moorish Spain mencatat Ibnu Bajjah sebagai seorang sastrawan hebat.Menurut seorang penulis kontemporer, Ibnu Khaqan, selain dikenal sebagai seorang penyair, Ibn Bajjah juga dikenal sebagai musisi. Ia piawai bermain musik terutama gambus. Yang lebih mengesankan lagi, Ibnu Bajjah adalah ilmuwan yang hafal Alquran. Selain menguasai beragam ilmu, Ibnu Bajjah pun dikenal pula sebagai politikus ulung.Kehebatannya dalam berpolitik mendapat perhatian dari Abu Bakar Ibrahim, gubernur Saragosa. Ia pun diangkat sebagai menteri semasa Abu Bakr Ibrahim berkuasa di Saragossa.Setelah itu, selama 20 tahun, Ibnu Bajjah pun diangkat menjadi menteri Yahya ibnu Yusuf Ibnu Tashufin.dan didaerah itulah akhir kehidupan ibnu bajjah yang bertepatan pada bulan ramadhan tahun 533H(1138M), yang telah ditacun oleh “ibn zuhr” dokter termasyhur pada zaman itu.

B. Karya tulis Ibn Bajjah
1. Kitab tadbir al- mutawahhid, ini adalah kitab yang paling popular dan penting dari seluruh karya tulisnya. Kitab ini berisikan akhlak dan politik serta usaha-usaha individu menjauhkan diri dari segala macam keburukan dalam masyarakat Negara,yang disebutnya insan muwahhid(manusia penyendiri).
2. Risalat Al-Wada’, risalah ini membahas penggerak pertama(tuhan), manusia,alam, dan kedokteran.
3. Risalat al-ittishal, risalah ini menguraikan manusia dengan akal fa’al.
4. Kitab al-nafs, kitab yang menjelaskan jiwa.(sirojuddin zar)
5. Tardiyyah yang mana kitab ini membahas tentang sya’ir pujian.
C.Filsafat Ibnu Bajjah
a)Epistimologis
Sebagai tokoh pemula filsafat islam di Dunia islam barat, ibn bajjah tidak lepas dari pengaruh saudara-saudaranya, filsuf dari islam timur. Terutama pemikiran al-Farabi dan Ibn Sina. Dalam bukunya yang terkenal tadbir al- mutawahhid, ibn bajjah mengemukakan teori al-ittishal, yaitu bahwa manusia mampu berhubungan dan meleburkan diri dengan akal fa’al atas bantuan ilmu dan pertumbuhan kekuatan insaniah.
Berkaitan dengan teori al-ittishal tersebut, ibn bajjah juga mengajukan satu bentuk epistimologi yang berbeda dengan corak yang dikemukakan al-Ghozali di Dunia islam timur. di Dunia islam timur.kalau al-Ghozali berpendapat bahwa ilham adalah sumber pengetahuan yang lebih penting dan lebih dipercaya, maka ibn bajjah mengkritik pendapat itu, dan menetapkan bahwa sesungguhnya perseorangan mampu sampai pada puncak pengetahuan dan dan melebur kedalam akal fa’al, bila ia bersih dari kerendahan dan keburukan masyarakat. Karena masyarakat bisa melumpuhkan daya kemampuan berpikir perseorangan dan menghalanginya untuk mencapai kesempurnaan, hal ini disebabkan masyarakat itu berlumuran dengan perbuata-perbuatan rendah dan keinginan hawa nafsu yang kuat.jadi, dengan kekuatan dirinya manusia bisa sampai kepada martabat yang tinggi, melalui pikiran dan perbuatan.
Pemikiran tentang epistimologi ini disebut ibn bajjah dalam bukunya, tadbir al-mutawahhidyang berisi delapan pasal, dapat disarikan sebagai berikut:
Pasal pertama: penjelasan kata tadbir, ibn bajjah menjelaskan arti kata tadbir dipakai terhadap setiap kumpulan peraturan yang mengenai dengan perbuatan menuju suatu tujuan, seperti mengatir keluarga atau Negara. Manakalah perbuatan-perbuatan seorang yang bertujuan kepada maksud yang tinggi, haruslah perbuatan itu timbul dari pemikiran yang luas, jauh sekali dari pengaruh luar.
Pasal kedua: berisi penjelasan tentang perbuatan-perbuatan yang bersifat kemanusiaan, untuk menjelaskan yang mungkin membuktikan tujuan “orang yang menyendiri” dibaginya perbuatan kepada dua bagihan:
1-perbuatan yang timbul dari kehendak mereka, sesudah memperhatikan dan mempertimbangkan.
2- suatu perbuatan yang timbul dan bersifat instink hewani yang tunduk kepada jiwa manusia yang berpikir. Perbuatan ini dinilai tingkatan akhlak yang paling tinggitetapi, manakalah seseorang yang kekuatan hewaninya bisa mengalahkan kekuatan berpikirnya, maka ia lebih hina daripada hayawan.
Pasal ketiga: yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan menyendiri, yaitu memperoleh urusan yang bersifat pemikiran, maka wajiblah mengetahui urusan-urusan ini.
Pasal keempat: pembahagian perbuatan manusia kepada tiga macam:
1- perbuatan yang tujuanya berpa bentuk jasmani, seperti minum, makan, pakaian dan yang serupa seperti itu.
2- Perbuatan yang tujuanya adalah bentuk rohaniah perseorangan, bukanlah kelezatan hewani yang menjadi tujuan daripada bahagian ini, tapi yang dituju adalah menyempurnakan bentuk rohani, sehingga seseorang memperoleh ketentraman pikiran dan kesenangan perasaan.
3- Perbuatan yang bertujuan bentuk rohaniah umum. Perbuatan ini adalah perbuatan rohaniah yang lebih sempurna, yang berhubungan dengan akal aktif(akal fa’al).
Pasal kelima: berisi bahwa seorang mutawahhid (penyendiri) harus memilih perbuatan yang paling tinggi, sehingga sampai kepada tujuan akhir.
Pasal enam dan pasal tujuh, kembali memperpanjang uraian mengenai bentuk-bentuk rohaniah dan perbuatan-perbuatan yang bertalian dengannya serta tujuan-tujuan yang ingin dicapai.
Pasal kedelapan: menjelaskan apa yang dimaksud dengan tujuan akhir.
b) Metafisika
Menurut ibn bajjah , segala yang ada terbagi dua: yang bergerak dan tidak bergerak, yang bergerak adalah jism yang sifatnya terbatas. Gerak terjadi dari perbuatan yang menggerakkan terhadap yang digerakkan. Gerakan ini pula digerakan oleh gerakan lain, yang akhir rentetan gerekan ini digerakan oleh penggerak yang tidak bergerak. Dalam arti penggerak yang tidak berubah yang berbeda dengan jism.yang mana penggerak ini adalah bersifat azali. Dan ibn bajjah menyebutnya yaitu” ‘aql”.
Dapat disimpulkan bahwa si penggerak yang tapi tidak bergerak yaitu Allah yang mana para filsuf islam menyebutnya dengan sebutan “ ‘aql”
c)Etika
Tindakan manusia menurut Ibn Bajjah ada dua yaitu:
Pertama, tihdakan hewani, timbul karena ada motif naluri atau hal-hal lain yang berhubungan dengannya, baik dekat maupun jauh.
Kedua, tindakan manusiawi, timbul dikarenakan adanya pemikiran yang lurus dan keamanan yang bersih dan tinggi.
Apabila tindaka seseorang itu bisa dihargai, maka ia harus berbuat dibawah pengaruh pikiran dan keadilan semata-mata, dantidak ada hubungannya sama sekali dengan segi hewani. Seseorang yang hendak menunjukkan segi hewani itu pada dirinya maka ia harus memulai dengan melaksanakan segi kemanusiaannya. Dalam keadaan demikianlah maka segi hewani pada dirinya tunduk kepada ketinggian segi kemanusiaan dan seseorang menjadi manusia tidak ada kekurangannya, karena kekuranga ini timbul disebabkan ketundukannya kepada naluri.
d) Politik
Dari pengertian mutawahhid, banyak orang mengira bahwa ibn bajjah menginginkan supaya seseorang menjauhkan diri dari masyarakat ramai. Tetapi sebenarnya ibn bajjah bermaksud bahwa seorang mutawahhid sekalipun harus senantiasa berhubungan dengan masyarakat. Tetapi hendaklah seseorang itu mampu menguasai diri dan sanggup mengendalikan hawa nafsu, tidak terseret ke dalam arus perbuatan rendah masyarakat.dengan perkataan lain ia harus berpusat pada dirinya dan merasa selalu bahwa dirinya menjadi contoh ikutan orang lain, serta sebagai penyusun perundang-undangan bagi masyarakat, bukan malah tenggelam dalam masyarakat itu.
Tindakan-tindakan mulia itu kemungkinan bisa diterapkan di Negara utama.dalam bentuk-bentuk Negara Daerah yang rusak, semua tindakan dilakukan secara terpaksa dan impulsive. karena penduduknya tidak bertindak secara rasional, dan sukarela tetapi didorong, misalnya pencaharian kebutuhan hidup, kesenangan pujian, atau kejayaan. Dalam kehidupan rezim yang tidak sempurna ini, dimana aspirasi intelektual dirintangi, maka tindakan seseorang yang terkucil, menarik diri dari pergaulan manusia, didalam Negara semacam ini untuk apolitik.

DAFTAR PUSTAKA
Nasution Hasimsyah. 2003, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama.
Mustofa. 2009, Filsafat Islam, bandung: pustaka setia.
Zar Sirojuddin. 2004, Filsafat Islam-filosof & filsafatnya, Jakarta:Raja Grafindo Persada.
Ervani, Reza, ”Ibn Bajjah” dalam www.rezaervani.com/rezapedia /12-02-08/17

Minggu, 13 Maret 2011

A. Faktor Keluarga
Faktor keluarga yang dapat menyebabkan anak berkebutuhan khususan perilaku agresif dapat diidentifikasikan seperti berikut.

1.Pola asuh orang tua yang menerapkan disiplin dengan tidak konsisiten. Misalnya orang tua sering mengancam anak jika anak berani melakukan hal yang menyimpang. Tetapi ketika perilaku tersebut benar-benar dilakukan anak hukuman tersebut kadang diberikan kadang tidak, membuat anak bingung karena tidak ada standar yang jelas. hal ini memicu perilaku agresif pada anak. Ketidakonsistenan penerapan disiplin jika juga terjadi bila ada pertentangan pola asuh antara kedua orang tua, misalnya si Ibu kurang disiplin dan mudah melupakan perilaku anak yang menyimpang, sedang si ayah ingin memberikan hukuman yang keras.
2.Sikap permisif orang tua, yang biasanya berawal dari sikap orang tua yang merasa tidak dapat efektif untuk menghentikan perilaku menyimpang anaknya, sehingga cenderung membiarkan saja atau tidak mau tahu. Sikap permisif ini membuat perilaku agresif cenderung menetap.
3.Sikap yang keras dan penuh tuntutan, yaitu orang tua yang terbiasa menggunakan gaya instruksi agar anak melakukan atau tidak melakukan sesuatu, jarang memberikan kesempatan pada anak untuk berdiskusi atau berbicara akrab dalam suasana kekeluargaan. Dalam hal ini muncul hukum aksi-reaksi, semakin anak dituntut orang tua, semakin tinggi keinginan anak untuk memberontak dengan perilaku agresif.
4.Gagal memberikan hukuman yang tepat, sehingga hukuman justru menimbulkan sikap permusuhan anak pada orang tua dan meningkatkan sikap perilaku agresif anak.
5.Memberi hadiah pada perilaku agresif atau memberikan hukuman untuk perilaku prososial.
6.Kurang memonitor dimana anak-anak berada
7.Kurang memberikan aturan
8.Tingkat komunikasi verbal yang rendah
9.Gagal menjadi model
10.Ibu yang depresif yang mudah marah

B. Faktor Sekolah
Beberapa anak dapat mengalami masalah emosi atau perilaku sebelum mereka mulai masuk sekolah, sedangkan beberapa anak yang lainnya tampak mulai menunjukkan perilaku agresif ketika mulai bersekolah. Faktor sekolah yang berpengaruh antara lain: 1) teman sebaya, lingkungan sosial sekolah, 2) para guru, dan 3) disiplin sekolah.

1.Pengalaman bersekolah dan lingkungannya memiliki peranan penting dalam pembentukan perilaku agresif anak demikian juga temperamen teman sebaya dan kompetensi sosial
2.Guru-guru di sekolah sangat berperan dalam munculnya masalah emosi dan perilaku itu. Perilaku agresifitas guru dapat dijadikan model oleh anak.
3.Disiplin sekolah yang sangat kaku atau sangat longgar di lingkungan sekolah akan sangat membingungkan anak yang masih membutuhkan panduan untuk berperilaku. Lingkungan sekolah dianggap oleh anak sebagai lingkungan yang memperhatikan dirinya. Bentuk pehatian itu dapat berupa hukuman, kritikan ataupun sanjungan.

C. Faktor Budaya
Pengaruh budaya yang negatif mempengaruhi pikiran melalui penayangan kekerasan yang ditampilkan di media, terutama televisi dan film. Menurut Bandura (dalam Masykouri, 2005: 12.10) mengungkapkan beberapa akibat penayangan kekerasan di media, sebagai berikut.
1.Mengajari anak dengan perilaku agresif dan ide umum bahwa segala masalah dapat diatasi dengan perilaku agresif.
2.Anda menyaksikan bahwa kekerasan bisa mematahkan rintangan terhadap kekerasan dan perilaku agresif, sehingga perilaku agresif tampak lumrah dan bisa diterima.
3.Menjadi tidak sensitif dan terbiasa dengan kekerasan dan penderitaan (menumpulkan empati dan kepekaan sosial).
4.Membentuk citra manusia tentang kenyataan dan cenderung menganggap dunia sebagai tempat yang tidak aman untuk hidup.
Akibat sering nonton salah satu kartun, dan film robot di beberapa stasiun TV, anak cenderung meniru tokoh tersebut dan selain itu juga meniru perilaku saudara sepupu teman sepermainannya. Terkadang orang tua melarang putra – putrinya untuk menonton film – film kartun dan film robot tersebut tentunya dengan memberikan penjelasan, tetapi belum membuahkan hasil yang maksimal.
Selain itu, faktor teman sebaya juga merupakan sumber yang paling mempengaruhi anak. Ini merupakan faktor yang paling mungkin terjadi ketika perilaku agresif dilakukan secara berkelompok. Ada teman yang mempengaruhi mereka agar melakukan tindakan-tindakan agresif terhadap anak lain. Biasanya ada ketua kelompok yang dianggap sebagai anak yang jagoan, sehingga perkataan dan kemauanya selalu diikuti oleh temannya yang lain. Factor-faktor tersebut bsangat kompleks dan mempengaruhi.
D. Kesenjangan Generasi
Adanya perbedaan atau jurang pemisah (Gap) antara generasi anak dengan orang tuanya dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal dan seringkali tidak nyambung. Kegagalan komunikasi orang tua dan anak diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak. permasalahan generation gap ini harus diatasi dengan segera, mengingat bahwa selain agresi, masih banyak permasalahan lain yang dapat muncul seperti masalah ketergantungan narkotik, kehamilan diluar nikah, seks bebas, dll.