Inilah Kisah Para Korban tsunami di jepang
Rabu, 16 Maret 2011 | 07:56 WIB , kompas
Kaori Ohashi juga selamat dari bencana alam gempa dan tsunami itu. Ohashi menyaksikan dengan kengerian saat gelombang lumpur penuh puing menghantam rumah-rumah dan meratakan ladang-ladang. Dia bergegas ke arah rumah perawatan lansia tempatnya bekerja.
Dia melihat mobil-mobil dan pengemudinya terlempar oleh arus air yang mengamuk itu. Korban-korban lain berpegang erat pada pohon-pohon sebelum tsunami menyeret mereka. ”Saya kira hidup saya selesai,” kata Ohashi saat menceritakan kisah dua malam yang mengerikan terperangkap di dalam panti dengan 15 tenaga staf dan 200 lansia setelah bencana hari Jumat lalu itu.
Ohashi (39), ibu dua anak, kini tinggal di sebuah sekolah di Sendai, ibu kota Prefektur Miyagi, bersama 400 pengungsi lainnya. Setiap kali gempa susulan mengguncang gedung, dia melompat untuk memeluk putrinya yang berusia dua tahun.
Hari Jumat, saat lantai satu dari panti itu dipenuhi air berwarna gelap, Ohashi dan rekan-rekan kerjanya berjuang membawa para lansia ke lantai dua dan tiga.
Ohashi dan rekan-rekannya terus sibuk mengurus para lansia itu, memberi mereka makan sedikit tuna kaleng dan sedikit roti dengan senter. Dalam gelap gulita, para tenaga staf membantu para lansia tidur di tikar.
”Kami dalam isolasi total. Kami takut meninggalkan panti karena tsunami dan gempa bisa sewaktu-waktu terjadi,” kata Ohashi yang kemudian bisa menghubungi putranya yang berusia 12 tahun lewat telepon seluler.
Post Traumatic Stress Disorder (Gangguan Stres Pascatrauma)
Dalam cerita tersebut yang dimaksud dengan ketakutan adalah tanggapan atau proses internal atau eksternal yang mencapai tingkat ketegangan fisik dan psikologis sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan subyek (Cooper, 1994). Menurut Hager (1999), stres sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya. Namun, berhadapan dengan suatu stressor (sumber stres) tidak selalu mengakibatkan gangguan secara psikologis maupun fisiologis. Terganggu atau tidaknya individu, tergantung pada persepsinya terhadap peristiwa yang dialaminya. Faktor kunci dari stres adalah persepsi seseorang dan penilaian terhadap situasi dan kemampuannya untuk menghadapi atau mengambil manfaat dari situasi yang dihadapi (Diana, 1991). Dengan kata lain, bahwa reaksi terhadap stres dipengaruhi oleh bagaimana pikiran dan tubuh individu mempersepsi suatu peristiwa. Stressor yang sama dapat dipersepsi secara berbeda, yaitu dapat sebagai peristiwa yang positif dan tidak berbahaya, atau menjadi peristiwa yang berbahaya dan mengancam. Penilaian kognitif individu dalam hal ini nampaknya sangat menentukan apakah stressor itu dapat berakibat positif atau negatif. Penilaian kognitif tersebut sangat berpengaruh terhadap respon yang akan muncul (Selye, 1956)
Dan dalam kejadian tersebut dapat di artikan bahwa korban bencana alam tersebut mengalami Distress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian.
REFERENSI :
1. Rahman Shaleh, Abdul. Psikologi. Kencana Prenada Media Group.
2. Baraja, Abubakar. Psikologi Perkembangan. Studia Press.
3. Sarwono Sarlito W. Pengantar Psikologi Umum. Rajawali Pers
RIEFA AMANDA PUTRI
10509254
2pa03
Tidak ada komentar:
Posting Komentar